Koperasi Zaman Now dan Peran Pajaknya: Ab Esse Ad Posse
Tak pelak jika koperasi merupakan
bagian dari rangkaian sejarah berkembangnya ekonomi dunia. Koperasi adalah
institusi yang tumbuh atas dasar solidaritas dan kerjasama antar individu, sebagai
jawaban atas masalah-masalah sosial yang timbul pada tahap awal Revolusi
Industri di Eropa[1]
dan kemudian terus berkembang menjadi lembaga modern saat ini. Semangat
koperasi diwujudkan dengan adanya gotong royong untuk mencapai kemakmuran
bersama[2],
dan sangat sesuai dengan karakter dan budaya bangsa kita.
Di Indonesia, upaya serius yang dilakukan pemerintah dalam menciptakan kesejahteraan rakyat melalui koperasi dilakukan dengan penegasan kembali kedudukan dan fungsi Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM) melalui Perpres No 62 tahun 2015. Dengan adanya institusi langsung di bawah Presiden ini, seharusnya pembinaan serta peningkatan kapasitas dan daya saing bagi dunia koperasi dapat terwujud dengan baik, mengingat peran koperasi yang sangat signifikan bagi kemajuan perekonomian bangsa.
Ilustrasi Koperasi. Sumber: trubus.id |
Berdasarkan
data Kemenkop UKM, kontribusi koperasi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
Indonesia tahun 2018 mencapai 5,1%[3]
dari Rp 14,837.4 triliun[4]
atau sekitar Rp 756,7 triliun. Sebuah nilai yang fantastis dan patut diacungi jempol. Di
tahun 2018, terdapat sebanyak 126.343 jumlah koperasi aktif dengan jumlah total
anggota aktif mencapai 20.049.995 jiwa[5].
Artinya, rata-rata setiap satu koperasi menyumbang setidaknya Rp 6 juta
terhadap total PDB 2018. Ditambah lagi, kontribusi koperasi terhadap
perekonomian diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun[6].
Koperasi tak ayal akan menjadi unsur penting dalam pengembangan dan pemerataan
ekonomi Indonesia.
Grafik Jumlah Koperasi Aktif 2010 - 2018. Sumber: depkop.go.id, diolah |
Namun,
kontradiktif dengan perannya terhadap perekonomian, kontribusi koperasi
terhadap penerimaan pajak ternyata masih jauh dari harapan. Menteri Keuangan
menyebutkan bahwa penerimaan pajak total dari sektor UMKM hanya sebesar Rp 5,7
triliun[7],
yang artinya pembayaran pajak dari koperasi sebagai bagian dari UMKM tentu lebih kecil dari itu. Belum
lagi adanya masalah tingkat pemahaman dan kesadaran perpajakan para pelaku usaha koperasi yang
dinilai masih sangat rendah[8], walaupun sudah ada nota kesepahaman antara Kementerian Keuangan dan Kemenkop UKM
untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan koperasi di bidang perpajakan[9].
Sejatinya
setiap insan koperasi zaman now perlu
paham bahwa kepatuhan pembayaran pajak bagi koperasi merupakan hal yang sangat
penting sebagai upaya mencapai tujuan besar dari koperasi, yakni peningkatan dan
pemerataan kesejahteraan masyarakat. Membayar pajak merupakan bukti bakti kita
terhadap negeri dari sisi perekonomian, dan kewajiban berbakti pada negeri ini melekat juga pada tiap unit-unit koperasi dan
para anggotanya. Bukankah tujuan besar dari pajak dan koperasi sesungguhnya beririsan, yakni untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat?
Pemenuhan kewajiban perpajakan yang baik koperasi adalah suatu keniscayaan. Maka, agar koperasi mampu memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik, diperlukan pengetahuan yang cukup terkait hal itu. Beberapa hal yang perlu diketahui terkait kewajiban perpajakan koperasi antara lain:
Pemenuhan kewajiban perpajakan yang baik koperasi adalah suatu keniscayaan. Maka, agar koperasi mampu memenuhi kewajiban perpajakannya dengan baik, diperlukan pengetahuan yang cukup terkait hal itu. Beberapa hal yang perlu diketahui terkait kewajiban perpajakan koperasi antara lain:
Pertama, koperasi perlu paham akan kewajiban mendaftarkan diri ke Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) tempat koperasi berada untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) sebagai identitas Wajib Pajak[10].
Kedua, paham bahwa koperasi wajib
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) bila peredaran usahanya selama
setahun > Rp 4,8 miliar. Status PKP memberikan kewenangan bagi koperasi
untuk memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari lawan
transaksinya[11].
Ketiga, koperasi yang berstatus sebagai
PKP wajib memungut Pajak Keluaran (PK) atas penjualan yang dilakukan, serta
wajib memotong Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23 atas bunga simpanan koperasi.
Ilustrasi Pajak. Sumber : shutterstock.com |
Keempat, setelah koperasi terdaftar, tentu
saja akan ada kewajiban membayar pajaknya. Beberapa jenis pajak yang umumnya
dibayarkan oleh koperasi diantaranya: (1) PPh Badan dengan tarif 25%[12];
(2) PPh final pasal 23 atas bunga simpanan koperasi yang dibayarkan kepada
anggota dengan nilai diatas Rp 240 ribu, dikenakan tarif 10%[13];
(3) Khusus untuk koperasi dengan peredaran bruto dibawah Rp 4,8 miliar, tidak
dikenakan tarif PPh Badan namum dikenakan PPh final atas omzet / peredaran
bruto dari aktivitas usaha koperasi dan dibayarkan bulanan, yakni sebesar 0,5%
dari omzet per bulan[14]; dan (4) PPN dengan tarif 10%[15].
Dan kelima, koperasi harus melaporkan
Surat Pemberitahuan (SPT) yang berisi informasi penghasilan, peredaran usaha,
dan pajak-pajaknya ke KPP tempat terdaftar. Adapun jenis-jenis SPT yang perlu
dilaporkan diantaranya: (1) SPT Tahunan; (2) SPT Masa PPN; dan (3) SPT Masa PPh
Pasal 23.
Secara
sepintas, kewajiban-kewajiban tersebut terdengar rumit, birokratis, dan menyulitkan para pelaku usaha koperasi. Padahal, pemerintah telah
berupaya untuk terus mempermudah wajib pajak dalam memenuhi kewajiban
perpajakannya melalui berbagai reformasi sistem dan aturan yang ada. Dalam
salah satu laporan The Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD) perbaikan sistem dan regulasi
perpajakan yang berlangsung di Indonesia secara nyata telah memberikan
peningkatan kemudahan perpajakan yang substansial, walaupun memang belum sempurna[16].
Dengan terus berupaya merangkul para pelaku usaha kecil, termasuk koperasi, pemerintah
diharapkan mampu membentuk basis pajak yang kuat dalam menopang perekonomian
dalam jangka panjang[17].
Jika ini terwujud, maka koperasi yang tadinya hanya organisasi swadaya yang hanya bertumpu pada kekuatan partisipasi anggota, akan mampu menjadi salah satu pondasi kuat dalam menciptakan nilai kemanfaatan ekonomi yang mampu mendorong peningkatan
ekonomi bangsa.
Untuk
itu, beberapa langkah yang dapat kita tempuh dalam meningkatkan peran koperasi
bagi penerimaan negara berupa pajak, dari peran yang tadinya hanya sekadar
ada (Esse) namun minim kontribusi,
menjadi sosok penting (Posse) yang
mampu menopang perekonomian dengan optimal adalah sebagai berikut:
Kedua, cooperative effect, koperasi harus memiliki mindset untuk memberikan nilai lebih[19], termasuk didalamnya menunaikan kewajiban perpajakan sebagai sumbangsih terhadap pembangunan.
Ketiga, cooperative need, dasar pengembangan koperasi harus dimulai dari kebutuhan anggota koperasi yang sifatnya permanen bukan sementara, yang dapat diusahakan pemenuhannya oleh koperasi. Sehingga, ada tuntutan bagi koperasi untuk terus mengembangkan bisnisnya (business development) untuk kesejahteraan para anggota dan peningkatan kontribusi ekonomi yang kolektif-kolegial melalui pajak[20].
Dan keempat, aktif mengawasi dan memberikan masukan kepada pemerintah terkait kebijakan-kebijakan perpajakan di sektor usaha koperasi, agar tercipta good mutual synergism demi kepentingan bersama.
Pemberdayaan koperasi secara tersktuktur dan
berkelanjutan akan mampu menyelaraskan struktur perekonomian nasional[21],
sehingga tercipta keadilan sosial sesuai amanah para pendiri bangsa. Bergerak!
Untuk koperasi Indonesia yang lebih baik.
Referensi:
[1] http://www.depkop.go.id/sejarah-kementerian
[2] O'Sullivan,
Arthur (2003). Economics: Principles in action. Pearson Prentice Hall.
[3] https://www.pikiran-rakyat.com/ekonomi/2019/06/26/kontribusi-koperasi-terhadap-pdb-capai-51
[4] https://www.kemenkeu.go.id/en/publications/news/indonesias-economic-growth-in-2018-is-higher-than-2017/
[5]
Laporan Data Koperasi 2018 – Kementerian Koperasi dan UKM http://www.depkop.go.id/uploads/laporan/1566783293_Data%20Koperasi%20Tahun%202018.pdf
[6] https://www.liputan6.com/bisnis/read/3686462/2019-kontribusi-koperasi-dan-ukm-bakal-meningkat-terhadap-ekonomi-ri
[7] https://ekonomi.bisnis.com/read/20190502/259/917630/masih-minim-penerimaan-pajak-dari-sektor-umkm
[8] https://economy.okezone.com/read/2017/04/28/320/1679165/duh-koperasi-di-ri-masih-buta-soal-perpajakan
[9] Laporan Tahunan 2017 – Direktorat
Jenderal Pajak. https://www.pajak.go.id/sites/default/files/2019-03/DJP%20AR-2017%20Fullpages%20-%20Indonesia%20%28Lowres-Compressed%29.pdf
[10] Pasal 2 ayat (1) UU Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
[11] Pasal 2 ayat (2) UU Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan
[12] Pasal 17 ayat (2a) UU Pajak
Penghasilan
[13]
Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2010
[14] Peraturan Pemerintah no 23
tahun 2018
[15] UU Pajak Pertambahan Nilai
[16] Arnold,
J. (2012). Improving the tax system in Indonesia. OECD Library
[17] Ibid.
[18] https://keuangan.kontan.co.id/news/dekopin-empat-pilar-ini-bisa-memperkuat-koperasi-di-era-milenial
[19] Ibid.
Komentar