Opor Ayam a la Bang Jamik


            


Pagi ini mungkin jadi pagi paling memilukan dalam rentetan sejarah evolusi Kingdom Animalia.  Bagaimana tidak? Salah satu keturunan terbaik seekor nenek dari neneknya nenek paling pertama bangsa burung, yang gosipnya bisa terbang 5 meter hanya dengan satu kepakan sebelah sayapnya, kini tergolek pilu, sakaratul maut. Sesungguhnya ia adalah ayam jago yang dengan ketampanannya mampu membuat semaput ayam-ayam betina tetangga. Gagah, bulunya necis berkilat-kilat, sorotan tajam mata elangnya membuat cacing-cacing tanah seketika mati di tempat, dan jengger mahkotanya itu, berkibar-kibar hebat, persis seperti Sang Saka Merah Putih di Istana Negara 17 Agustus kemarin. Namun apalah daya, Tuhan  telah berkehendak, pena telah diangkat dan tinta telah kering dalam kitab-Nya. Sesungguhnya lagi ia hanyalah seekor hamba yang menerima apapun takdir Ilahi. Dan ketika batang tenggorokannya perlahan-lahan menutup sesak, ceker tajamnya menghentak-hentak menahan sakit, ia hanya tersenyum pasrah, menatap wajah sang malaikat maut yang sebenarnya tidak tega mencabut roh syahid itu.

***



Hari ini hari minggu, hari libur bagi sebagian besar manusia di bumi. Sinar matahari yang cerah menyinari kampung Bedahan, sebuah kampung di pinggir batas ibukota. Jam dinding Seiko karatan di kantor desa menunjukkan pukul 6 pagi, waktu dimana biasanya para karyawan sudah berangkat dan bocah-bocah kecil sudah berpakaian rapi bersih untuk sekolah. Namun sekarang berbeda. Because, this is Sunday! Kantor desa kosong-melompong. Bocah-bocah itu kini bergentayangan kusut bau iler. Orang-orang yang biasanya sudah berangkat kerja, kini berpakaian kaos lengkap dengan celana training dan sepatu kets, jogging. Suasana sepi kampung sejak tadi subuh juga, kini mulai ramai dibisingi oleh ibu-ibu tukang gosip di depan gerobak tukang sayur.

“Eh, njeng.... Ada berita apa dari RW sebelah tuh? Dengar-dengar katanya ada gosip yang lagi hot ya?..” tanya seorang ibu dengan dempul bedak tebal dan lipstik yang mencolok, tapi tetap terlihat dekil karena memang belum mandi.
“Iya, aku juga dengar sepintas, katanya Bang Dulwanih yang punya toko material itu marah-marah ya ke Enyak Menih... duh” timpal ibu-ibu berdaster biru dengan motif pegunungan.
Bener tuh bu... Saya juga dengar kok, tapi gak tau kejadiannya kayak apa. Abang tau gak?” colek ibu-ibu yang lain, yang menimpakan beban berat untuk bercerita ke si abang tukang sayur yang badannya kerempeng kayak pengemis belum makan lima hari.
“Eh, hmm... “
“Abang pasti tau kan? Ayo, cerita dong, memang ada apa bang?” desak seorang ibu-ibu, yang tentunya didukung penuh secara moril serta spirituil dengan total dukungan mutlak 7 dari 7 suara ibu-ibu yang lain.

“................................................................. *hening sejenak*”, (si abang sayur ini takut dosa sebenarnya, cuma beliau ini orangnya enggak enakan, jadi sungkan untuk menolak permintaan orang lain. Karena sifatnya itulah dagangan sayurnya selalu jadi serbuan ibu-ibu sekampung karena gampang diutangin -red).
“J-Jadi.. gini ibu-ibu sekalian. Ko-konon katanya..... kemarin siang, Enyak Menih sama cucunya tertangkap basah mencuri mangganya Bang Dulwanih. Masalahnya sampai dibawa ke majelis kampung. Cerita yang saya dapat dari Mpok Ela...” (Mpok Ela ini kemarin sore kebetulan ada di rumahnya Mpok Wati yang merupakan sepupu jauh menantu Bang Dimin, dimana Bang Dimin adalah kaki tangan Pak RW yang merupakan salah satu hakim anggota dari 5 orang hakim dalam sidang perkara kasus Bang Dulwanih-Enyak Menih di ruang tamu rumah Haji Romlih -red).
“.... katanya Bang Dulwanih marah besar gara-gara mangga yang sudah dia kasih nomor semuanya satu per satu itu dicuri Enyak. Padahal cuma gara-gara mangga asem satu biji doang buat ngerujak. Saking marahnya, sampe-sampe menghina Enyak Menih ahli neraka Jahannam gitu” pilu sang abang sayur kerempeng bercerita.
“Ooooohhh...” semua ibu-ibu yang hadir melongo, dan sejurus kemudian berlanjutlah diskusi internal diantara mereka.

“Ya ampyuun... sampai segitunya si bantet Dulwanih! Keterlaluan banget deh itu orang” teriak ibu-ibu dengan dempul bedak tebal di muka dan lipstik yang mencolok, tapi tetap terlihat dekil karena memang belum mandi.
*cuap cuap cuap*
“Kasihan ya Enyak Menih...”
*cuap cuap cuap*
“Tapi emang Enyak itu kan nyolong, wajar aja bang Dulwanih marah! Enyak tetap salah menurutku...”
*cuap cuap cuap*
 “Terus Haji Romlih sama Pak RW gimana ya reaksinya...”
*cuap cuap cuap*
 “Masalah kayak gini udah makin merebak aja ya bu di kampung kita bu...”
*cuap cuap cuap*
“Biarin mampus tuh si Dulwanih! Habisnya pelit banget jadi orang, padahal usahanya sukses kan, biar makin buncit tuh orang!”...
*cuap cuap cuap*
 “Enyak Menih juga sudah tua tapi enggak tau diri, buat apa gigi sudah ompong mau makan rujak segala bla bla bla bla bla...”
*cuap cuap cuap*
*cuap cuap cuap*
*cuap cuap cuap*
*cuap cuap cuap*
*cuap cuap cuap*
*cuap cuap cuap*
“.................................................................................”
.
“hiks..hiks..” terdengar suara tangis kecil.
“Ya Allah, selamatkanlah hamba....” jerit si abang sayur dalam hati, memohon belas kasih dan pengampunan Tuhannya....

*cuap cuap cuap*

Yah, begitulah harmoni kehidupan kampung Bedahan di hari Minggu, sekonyong-konyong mengalirlah seperti biasa. Namun, pagi biasa bagi penduduk kampung Bedahan, rupanya akan terasa berbeda bagi para penghuni rumah gubuk di seberang gerobak sayur tadi. Seluruh anggota keluarga Bang Jamik, kebetulan hadir di tempat.

***
            “Pokoknya, hari ini gua mau makan opor ayam ! Titik !” teriak Bang Jamik, diiringi riuh sorak sorai penonton –yang ternyata adalah anak-anaknya– kegirangan menyambut rencana menu makan mereka nanti siang.
             “Eh bang, kan baru kemarin lu makan sate padang, kenapa lu sekarang minta opor segala? Lagian duit dari mana buat beli ayam? Lu kira duit tinggal petik kayak rambutan!” seorang wanita gendut berdaster merah bunga-bunga dengan kepangan di rambut menyahut, sembari memberikan susu penuh cinta dan kasih sayangnya pada anak bungsu hasil perbuatan mereka. Penonton yang lain nampaknya ditimpa kekecewaan mendalam.
            “Gua kagak mau tau, pokoknya lu masak dah itu opor ayam, lu kan bini gua, lu kudu patuh dong apa kata suami lu !”
            “Kaggaaak !!” bantah istrinya bang Jamik dengan jurus teriakan yang mengguncang bumi dan membuat si bungsu yang masih bayi menangis keras lagi menjerit pilu.
“Dasar lu bini sialan!! Bini durhaka lu!!” telunjuk bang Jamik mengacung lurus ke sang istri, seperti telunjuk tahiyat.
“Terus napa? Kalo gua gak nurutin lu, lu mau apa bang?”
“Gua mau.... mau....ehm...”
“Iye, mau apa lu kalo gua kagak bikin opor? Mau apa lu? Mau nyungsep? Nyungsep di empang sonoh! Penghasilan nguli pas-pasan berlagak parlente luh. Suami kagak guna luh!”
“Eh, jangan sembarangan nyerocos luh! iya emang duit gua pas-pasan, tapi lu sebagai bini kan bisa ngirit buat kebutuhan hidup! Masak kagak cukup juga duit dari gua?”
“Lha, gimana mau cukup, orang duit abis buat makan lu doang, sekarang aja lu minta makan opor dasar luh gak tau diri!!”
“Eh, em, tapi kan..................”
“Tapi apa? Hah! Tapi apa?!??!!” retoris sang istri berkepang kusut berbaju daster merah bunga-bunga ini. Dipukul-pukulnya kaki bang Jamik dengan gagang sapu ijuk, kesal. Ciutlah nyali bang Jamik. Susut asa dan muram muka menghadapi sang istri. Terkemudian bang Jamik pun terdiam. Diikuti derap langkah penonton bubar, lesu tidak ada harapan makan opor sama sekali. Pahlawan mereka Bang Jamik sudah KO melawan monster gendut berkepang kusut.
            Bang Jamik sendiri terpasung gagu sejenak, merenung sembari kemudian keluar dengan diikuti tatapan jutek sang istri tercinta. Dan sesungguhnya memang seharusnya ia terdiam. Cinta terkasihnya di masa muda dulu, berubah menjadi ibu-ibu Jahannam yang suara ketawanya saja bisa membuat gendang telinga malfungsi selama 3 minggu berturut-turut. Mengapa Bang Jamik bisa menikahi wanita ini ? Baik, kali ini ia memang kalah, ia mengakui kekalahannya dengan hati yang ikhlas dan teramat ridha, tapi ia tahu benar sebuah peribahasa yang sudah ia hafal sedari SD dulu, bahwa kegagalan adalah awal dari keberhasilan.

***
            Waktu berlalu. Bang Jamik kini hanya bisa duduk di teras rumahnya. Terasnya itu setiap hari Minggu, entah kenapa terasa seperti aula kerajaan. Kursi kayu reot lagi lapuk dimakan rayap yang sedang didudukinya, serasa bak singgasana raja. Pohon-pohon rambutan dan tanah 300 m warisan bapaknya yang sudah almarhum, menjadi rakyat dan wilayahnya. Aduhai, dengan anugerah seperti ini tetap saja Bang Jamik masih belum puas. Duduklah ia, sembari menyeruput kopi hangat hasil adukan dirinya sendiri di dapur tadi, lalu menyandarkan lehernya pada ujung atas kursi, merenungi nasibnya yang begitu malang.

            Dan kemudian, berkatalah Bang Jamik kepada rakyat dan kerajaannya, “Gua kudu makan opor.........”. Hening.
            Dan kemudian, berkatalah Bang Jamik lagi kepada rakyat dan kerajaannya, “Gua kudu makan opor... Kudu! Kagak pake titik koma!! Duh, pegimane ini..........”. Kemudian hening.
            Dan kemudian, berkatalah Bang Jamik lagi dan lagi, “Hai rakyatku! Gua mau makan opor... Mana opornya mana? Udah jam berapa ini? Gua belom sarapan woy...”, rakyat yang ditanya pun hanya menjawab dengan gerakan ranting mereka saja yang berderak kecil tertiup angin sepoi-sepoi. Mungkin kalau diterjemahkan dari bahasa pohon rambutan ke bahasa Sunda, kalimatnya akan seperti ini, “Sabodo teuing! Bukan urusan aing!”
           
            Tapi, mengapa ya? Mengapa harus opor ayam, bang? Mengapa sekarang? Diseruput kopi pahitnya lagi dengan pertanyaan dan kebimbangan yang mengguncang jiwa seorang lelaki. Bahkan Bang Jamik sendiri tidak tahu kenapa ia menginginkan semangkok opor ayam siap santap hadir dihadapannya saat ini juga. Ia persis seperti ibu-ibu hamil lagi nyidam anak pertama. Mungkin inilah yang disebut dengan takdir Ilahi. Ya, mungkin. Mungkin mulai saat ini Bang Jamik ditakdirkan untuk menderita seumur hidup karena opor ayam. Atau mungkin ada arwah ayam gentayangan yang dulu dimakannya tanpa baca bismillah, mengutukinya sekarang dengan sumpah serapah dan doa-doa makbul, berharap kesengsaraan pada orang yang menggerogoti dagingnya tanpa ingat Tuhan. Hiii...


            “Eh bang, kagak laper lu ! Sekarang udah jam 9 ! Noh ada tempe bacem sama sambel di meja, ni sekalian gua bawain juga sayur lodeh dari rumah encang gua”, walaupun kesal, sang istri tetaplah istri yang peduli dan sayang dengan suami, bukan begitu mak?
           
            “Terus, opornya mana ?”
            Hening.

Sebuah pertanyaan yang keluar sekejap dari jebakan setan, serta merta membuat muka ‘belom mandi’ Bang Jamik basah kuyup disiram air lodeh. Hilang lenyap tak berbekas sudah kepedulian dan kasih sayang mama. Keterlaluan kau setan !
            “Apaan ? Gua kagak dengar lu ngomong apaan bang ? Suami kagak tau diri lu bang !!” ditatapnya mata Bang Jamik tajam.
            Perkataan ini, walaupun cuma ejekan rutin dan biasa diterima secara berkala oleh Bang Jamik dari sang istri, entah mengapa saat itu menusuk tajam dan merembes dalam ke sanubarinya. Hmm, mungkin karena efek herbal dari terapi “cuci muka dengan sayur”. Tapi, memang benar kata istrinya, ia itu hanya suami bego yang tidak tahu diri. Ia mengakui hal itu.
            “Iye iye....maafin abang” lesu, menyadari kesalahannya, Bang Jamik kemudian bangkit, memakai sandal, dan melangkah gontai menjauhi rumah, menjauhi singgasana serta kerajaannya di hari Minggu. Menetes-netes air lodeh itu di halaman dari kepalanya. Ia ingin menghindar sejenak, lari dari perdebatan rutin bahkan kalau bisa dibilang terjadwal dengan istrinya. Begitu menyedihkan langkah gontai Bang Jamik, sungguh. Dan, entahlah. Ada sesuatu yang aneh dengan pagi ini. Mulai dari opor, kontemplasi yang berlebihan, pengakuan akan kekurangan dirinya untuk pertama kali dalam hidupnya, dan kini Bang Jamik bertingkah seperti ABG labil yang sedang mencari jati diri. Istrinya hanya bisa menatap iba dari jauh. “Kok, ada yang beda ye dari si abang?” batinnya. Mungkin ini semua hanyalah kehendak Ilahiah yang begitu misterius.


***

            Dan singkat cerita mengharukan itu, berlanjutlah perjalanan Bang Jamik, keluar pagar rumah menyusuri kampung. Selangkah demi selangkah, celangak celunguk tidak jelas seperti orang tidak waras. Sedikit demi sedikit disusurinya jalan-jalan dan gang-gang kampung. Apa yang sebenarnya ia cari? Entahlah. Namun yang pasti, puluhan bahkan ratusan orang menatap nanar tingkahnya. Wajar saja, muka berlumuran air sayur tapi dengan pede-nya jalan-jalan keliling kampung. Entah apa yang berkecamuk di kepala Bang Jamik, sampai gara-gara opor ayam ia bisa meninggalkan tahta kerajaan pohon rambutannya untuk dinyinyir orang-orang sekampung.
            Sampai puncaknya, titik kulminasi kisah ini pun terjadi di sebuah lorong sepi di sudut kampung. Seakan angin berhenti berhembus, burung berhenti berkicau, awan berhenti berarak, dan matahari berkedip tak percaya, karena kini dilihat mereka mata Bang Jamik terpatri pada makhluk indah yang ada dalam kerangkeng bambu itu, berpilin dipertemukan takdir.
            Sesungguhnya ia adalah ayam jago yang dengan ketampanannya membuat semaput ayam-ayam betina tetangga. Salah satu keturunan terbaik seekor nenek dari neneknya nenek paling pertama bangsa burung, yang gosipnya bisa terbang 5 meter hanya dengan satu kepakan sebelah sayapnya saja. Gagah, bulunya necis berkilat-kilat, sorotan tajam mata elangnya membuat cacing-cacing tanah seketika mati di tempat, dan jengger mahkotanya itu, berkibar-kibar hebat, persis seperti Sang Saka Merah Putih di Istana Negara 17 Agustus kemarin. Namun apalah daya, Tuhan telah menakdirkan pertemuan itu. Pertemuan yang membuat sejarah besar dalam rentetan evolusi Kingdom Animalia.
            “Buset dah, ni ayam jago mantep bener.” mata Bang Jamik terbelalak heran lagi takjub, mengamati seekor makhluk terindah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa ini. Ingin ia mengucap kalimat tasbih, tapi diurungkan niatnya karena ia sadar ia jarang sholat dan tidak fasih bicara bahasa arab. Tapi memang benar, makhluk yang dilihatnya itu mampu membuat siapa saja memuji Tuhan, bahkan seorang atheis sekalipun. Seekor jago yang bahkan mampu mengalahkan burung merak dalam adu kekuatan maupun ketampanan.

“Punya siapa ya ni ayam ?” tanya Bang Jamik bergumam. Ditengoknya keadaan kiri dan keadaan kanan. Sepi. Gelap. “Aman bro” setan ikut memantau. Opor ayam melayang-layang dipikirannya. Duh, Bang Jamik mau ngapain bang?
            “Sebenernya sih ayam cakep kayak gini mendingan dijual atau dipiara, tapi berhubung ada situasi dan kondisi tertentu yang sifatnya darurat, mending gua bikin opor aja dah”. Segeralah akal sehat dan ilmu-ilmu agama yang dipelajarinya dari kecil menguap, diikuti gerak kaki-kaki itu. Sangat cepat. Gesit. Dan tangannya seperti kilat, menyambar seketika. Tak ada kesempatan. Tak ada ampun. Tak ada ruang bagi si ayam lari, bahkan reflek alamiahnya masih kalah cepat dengan gerakan tangan Bang Jamik yang notabene dibantu setan. Habis sudah. Takdir Tuhan telah dijalankan, atau mungkin Bang Jamik lah yang sebenar-benarnya hamba durhaka. Ya Tuhan, ampunilah Bang Jamik, karena sungguh, Engkau tahu, ia hanya sedang khilaf, dan sungguh, Engkau adalah sebaik-baik Pengampun dan Penyayang. Aamiin.

***

            Dibawa pulang si jago, dengan senyum mengembang dan air liur menetes sepanjang jalan. Senang hati bukan main, karena kini, impian hidup yang terus mengusiknya sejak pagi akan dikabulkan makhluk ajaib yang ia bungkus dengan kresek bekas dari tong sampah. Herannya si jago hanya diam dalam plastik pengap bau busuk itu. Tak ada suara sedikitpun, bahkan sampai Bang Jamik mengira ia telah mati. Ditengoknya kedalam plastik, si ayam malah balik menatapnya. Tatapan matanya aneh. Seperti tatapan orang yang sudah pasrah mati.
“Ni jago nape ya diem aja, lagi sakit kali... Apa ni ayam dongo?” itulah satu-satunya penjelasan logis yang disimpulkan Bang Jamik. Tapi ayam jago itu justru tidak sedang sakit, apalagi dongo. Sesungguhnya lagi ia hanyalah seekor hamba yang menerima apapun takdir Ilahi. Dan takdir Ilahi telah menentukan ia seperti ini, menjadi seekor jago dalam plastik kresek yang digondol maling.
            Pendeknya Bang Jamik tiba di rumah sudah jam 11, dengan raut wajah berseri-seri. Sukses. Berhasil. Setan-setan tadi pun kegirangan melompat-lompat. Persis kayak Dora dan Boots yang berhasil menjalankan misi. Dirangkul erat-erat si jago, dibawa menghadap sang istri tercinta.
            “Mama, liat papa bawa oleh-oleh” disodorkan plastik kresek bau busuk itu.
            “Ngomong apa lu bang? Udah gila lu ya? Darimana lu?”
            Namun sekonyong-konyong raut wajah wanita gendut berdaster itu berubah ketika Bang Jamik dengan lembutnya membuka plastik kresek di tangannya. Seakan melihat peti harta karun peninggalan Raja Gilgamesh yang legendaris, namun kali ini bukan emas dan permata, hanya seekor ayam, ayam jago paling tampan di dunia, anugerah terindah selama 10 tahun pernikahan mereka. Maka adakah nikmat Tuhanmu yang kamu dustakan, hai Bang Jamik dan istrinya ?
            “Ayo ma, papa mau sembelih ayam ini. Tolong ambilkan golok ya di belakang, sekalian siapkan bumbunya...”
            “Iya papa...”
            Terkemudian, disiapkan sebuah papan seperti altar pengorbanan seukuran badan ayam, ditaruh di kebun dengan pohon rambutan sebagai atapnya, dan tanah sebagai lantainya. Sejurus kilat, menempel mata golok di tenggorokan makhluk malang itu. Kita sebagai manusia layak berkabung. Innalillahi wa inna ilaihi raji’uun....
***
            Ya, ya ~ Sesungguhnya ayam jago itu adalah ayam yang qana’ah, seekor hamba yang menerima apapun takdir Ilahi. Dan takdir Ilahi telah menentukan ia seperti ini, menjadi seekor jago yang disembelih maling untuk jadi opor ayam. Tapi, ya tapi, apakah dia harus diam saja? Apakah ia harus menerima semuanya tanpa ada usaha dan perjuangan? Ayam yang tampannya luar biasa itu kemudian membuat sebuah keputusan yang paling krusial dalam hidupnya. Seakan wahyu turun dari langit kepada dirinya yang disampaikan langsung oleh Tuhan melalui perantara malaikat-Nya. Karena ya karena, menerima takdir Tuhan itu, bukan hanya berdiam diri pasrah begitu.
            Kemudian ya kemudian, mengepaklah sayapmu, mengembangkan impian, dahsyat!! Menendang-nendang. Berteriak dan berkokok keras. Melawan. Melawan. Melawan!!
“Buset dah!! nih ayam kenapa?? Duh...” keluh Bang Jamik, karena kini tangannya dipatuk dan dicakar-cakar sang ayam. Bang Jamik kerempongan dengan ulah si ayam. Dilihatnya mata ayam itu kembali. Sungguh, itu bukan mata seperti tadi, mata sayu orang yang putus asa dalam hidup. Mata itu, ya matanya sangat garang dan tegas, mata penuh prinsip dan perjuangan untuk mempertahankan hidup. Bang Jamik pernah melihat mata itu sebelumnya. Ya, tidak salah lagi, mata itu memang para pejuang Tuhan yang membela apa yang mereka yakini dengan sungguh-sungguh, mata milik orang-orang sholeh yang kesibukannya diisi dengan urusan akhirat, dengan penuh harap akan pengampunan dan kedekatan dengan Ilahi. Mata yang menyiratkan cahaya kebenaran, ya, mata itu....
“Nih ayam kesetanan ya...”. pekik Bang Jamik. Kesetanan bang? Padahal, sungguh, ayam itu sedang memperjuangkan sesuatu yang haq dan menolak sesuatu yang batil. Mata sang ayam akhirnya membuat ciut nyali Bang Jamik. Bang Jamik sudah tak mampu mempertahankan cengkramannya di ceker dan tubuh si ayam yang terus menggelepar gila. Genggaman Bang Jamik yang semula kokoh seperti beton itu, kini melemah dan melemah. Sampai akhirnya, terlepas. Sesungguhnya lagi ia hanyalah hamba yang menerima apapun takdir Ilahi. Dan takdir Ilahi telah menentukan ia seperti ini, menjadi seekor jago yang bebas, yang tidak mau mati untuk menjadi daging haram !! Tidak sedikitpun !! Demi Tuhan !!!!
            Sekejap kemudian, si ayam pun berlari sekencang yang ia bisa. Bang Jamik mengejarnya dengan kecepatan kilat betis-betisnya yang mengerikan, lagi-lagi dibantu setan. Berkejar-kejaran mereka. Berkali-kali si ayam mampu mengecoh jangkauan tangan Bang Jamik dengan manuver-manuver larinya yang seakan tak masuk akal. Sangat menegangkan. Epik. El Classico lewat dah. Pohon, ranting, dedaunan rambutan serta seluruh rakyat kerajaan Bang Jamik di hari Minggu menjadi saksi peristiwa itu. Sungguh mengharukan kawan, sungguh indah, inilah bukti bahwa kebenaran akan selalu menang menang kebathilan. Seekor ayam dengan ukuran dan kekuatan cekernya yang tak seberapa, mengalahkan kecepatan kaki manusia kuli gila plus bantuan setan. Kalah sudah, sungguh Tuhan telah melemparkan sesuatu yang haq kepada yang bathil dan menghancurkannya. Berderai-derai lah air mata Bang Jamik. Semakin jauh dan jauh ayam itu dalam pandangannya. Ya Tuhan, sungguh, Engkau Maha Penyayang diantara semua Penyayang.       

***
            Ia bahagia. Ia kini bebas. Ia telah keluar sempurna dari halaman rumah Bang Jamik. Ia pun berlari kecil dengan senyum merekah menatap cahaya kemenangan dari langit. Tak lupa puji-pujian dan kalimat-kalimat syukur ia haturkan ke hadirat Ilahi Rabbi, tentu dengan bahasa ayam. “Kok..kok..petokk...kok...petok...” kurang lebih seperti itu sang ayam bersyukur.
Namun, ditengah sukacita dan rasa syukurnya, sebenarnya nasib sang ayam telah lama tertuliskan di dalam Kitab Takdir. Ya, bagaimanapun, Tuhan adalah pemain prerogatif dan memiliki hak mutlak disini. Seakan telinganya tertutup oleh sekat tak terlihat, ia tak mendengar suara bising yang mendekat itu. Bising yang semakin bising, namun tetap tak terdengar. Seseorang bertubuh gempal yang ternyata adalah Bang Dulwanih rupanya sedang mengendarai sebuah sepeda motor butut lagi bodong bermesin 2 tak. Menderas kencang dengan kecepatan tinggi, dan celakanya remnya putus. Bang Jamik menatap pilu dari kejauhan, berteriak. Sesungguhnya lagi ia hanyalah hamba yang menerima apapun takdir Ilahi. Dan takdir Ilahi, siapa yang tahu?
Pagi ini mungkin jadi pagi paling memilukan dalam rentetan sejarah evolusi Kingdom Animalia.  Bagaimana tidak? Salah satu keturunan terbaik seekor nenek dari neneknya nenek paling pertama bangsa burung, yang gosipnya bisa terbang 5 meter hanya dengan satu kepakan sebelah sayapnya, kini tergolek pilu, sakaratul maut. Sesungguhnya ia adalah ayam jago yang dengan ketampanannya mampu membuat semaput ayam-ayam betina tetangga. Gagah, bulunya necis berkilat-kilat, sorotan tajam mata elangnya membuat cacing-cacing tanah seketika mati di tempat, dan jengger mahkotanya itu, berkibar-kibar hebat, persis seperti Sang Saka Merah Putih di Istana Negara 17 Agustus kemarin. Namun apalah daya, Tuhan  telah berkehendak, pena telah diangkat dan tinta telah kering dalam kitab-Nya. Sesungguhnya lagi ia hanyalah seekor hamba yang menerima apapun takdir Ilahi. Dan ketika batang tenggorokannya perlahan-lahan menutup sesak, ceker tajamnya menghentak-hentak menahan sakit, ia hanya tersenyum pasrah, menatap wajah sang malaikat maut yang sebenarnya tidak tega mencabut roh syahid itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kurapika?

Mengapa Harus Memimpin ??

Ka'bah itu Besar! Persis di Tengah-Tengah Masjidil Haram