Ka'bah itu Besar! Persis di Tengah-Tengah Masjidil Haram






“Akh...” kali ini ia kembali menatap wajahku. “Perlu antum ketahui, tidak selamanya tamu datang adalah tamu baik-baik. Tidak melulu kedatangan itu buah ketulusan. Dan tidak ada dalam kamus keabadian bahwa salah satu cara dari cara-cara untuk menggapai kebaikan adalah dengan perbuatan dosa lagi nista...”

“Akh...” kali ini ia kembali menatap wajahku, dalam. “Kira-kira, apa yang akan antum lakukan terhadap tamu-tamu tersebut? Apa antum berpongah tidak enak ketika ia duduk? Apakah antum tidak menyuguhkan air ketika ia kehausan? Ataukah, antum mengusirnya?”



“Abah sudah yakin dengan keputusan Abah?” tanyaku pagi ini.

“Insya Allah sudah nak, Abah sudah membulatkan tekad. Umur Abah sudah terlampau tua, terlalu lama Abah menunggu tabunganmu. Abah sudah rindu kesana. Abah sendiri sudah menabung sejak lama. Akhir tahun ini jadwal berangkat, Insya Allah, ONH Plus. Engkau tidak marah kan nak?”

“Tidak apa-apa bah. Mana mungkin Sulaiman halang-halangi ibadah Abah ini. Lalu, uangnya darimana bah?” 
Pagi ba’da subuh di kampung ini masih menyelimuti kami yang duduk-duduk di teras berdudukkan balai bambu dengan kabutnya. Persis seperti kepulan asap pembakaran, tapi dingin. Balai bambu ini sendiri berdenyit-denyit lucu saat diduduki, apalagi kalau duduknya banyak gerak. Sementara gelas-gelas kopi pahit hasil garangan Emak telah terteguk sebagian, petak-petak sawah di hamparan mata itu masih belum tergarap oleh si empunya, basah berlumpur. Terlihat sih satu dua orang masuk ke peladangan membawa pacul. Bertopi caping berpakaian ala kadarnya. Duh, alangkah indah punya rumah disini. Rumah Abah dari dulu. Berbangun beton tingkat dua, terbilang real estate diantara gubuk-gubuk bambu reot orang-orang kampung. Padahal beberapa tahun lalu Abah beli tanah disini dengan harga murah. Maklum, pelosok, tanah seabrek-abrek dijual borongan, 5 juta 500m. Dibangunlah rumah olehnya, tak mahal juga harga pasir dan material lain disini. Alamak, klop sudah..

 “Tak usahlah kau tanyakan itu.” jawabnya diplomatis, sembari diseruputnya lagi cairan dari bibir gelasnya. Tapi jujur, aku tetap heran dan tak menyangka. Jika dihitung-hitung, uang pemberianku selama ini, seandainya Abah kumpulkan semua pun, mungkin belum tentu cukup jadi modal.

“Bukannya rezeki Allah datang tanpa disangka-sangka?”, kemudian ia menatapku.

Hatiku tetap gundah.


***



Jam ditanganku telah menunjukkan pukul 7 malam. “Celaka...” batin ini menyahut. Kuputar penuh saja gagang gas motor matik-ku. Salip sana salip sini, berasa pembalap. Motor di depan pun merayap pelan bak semut. Kutekan klakson seikhlas-ikhlasnya. Bereaksi punggung orang itu, menepi sedikit ke pinggir jalan. Tanpa ampun sudah, full gas

“Dasar gila luh!” terdengar sayup diantara bunyi-bunyi knalpot. Yah, namanya juga usaha.

Hari ini, aku janji dengan Umi. Seharusnya aku pulang sore. “Umi mau nonton sama Abi, film itu, 99 Cahaya di Langit Eropa” pintanya. “Jam 5 berangkat ya, karena jam setengah 8 filmnya mulai. Aku pengen muter-muter dulu di mall”. Pagi itu, aku hanya bisa mengangguk.

“Mana mungkin aku sempat! Sekarang sudah jam segini. Sampai rumah jam 8 lah...”. Aku pun mengutuki tugas-tugas yang menggunung dari bos, sangat tak biasanya. “Umi, maaf ya... Abi mungkin pulang malam. Tapi Abi usahakan sampai dirumah secepat mungkin, semoga masih bisa kekejar filmnya” isi smsku sore. Terkemudian, bergetar-getarlah handphone-ku dikantung celana. Aku menepi dan membuka isinya. Dari Umi : “................ huft!”. Ya, begitu isi smsnya, secara harafiah. Menyurutlah sudah semangat Valentino Rossi-ku.

“Sudahlah”, sudah waktunya sholat Isya’ pula. Kuketik sms balasan dengan gerakan jari jemari yang dipenuhi cinta dan kasih sayang meluap-luap. “Ummiiii... Maafin Abi yah, huhu (T.T)... Tadi kerjaan banyak banget, jadi baru selesai jam 6an. Abi sholat maghrib dulu, dan baru keluar kantor jam 7. Maaf yaaa, Abi sayang Umi... kiss you :3” Detik berikutnya sms masuk. Kulihat pelan sambil berdoa. Tertulis sih dari Umi. Coba kubuka, dan kulihat, ternyata isi smsnya begini : “!”. Duh.

Merenung dan tertawa kecil. Diriku kemudian menatap langit yang kali ini tak berbintang lagi. Mungkin memang malam ini jatah malamku untuk tidur di sofa bersama TV dan remotenya. Kujalankan saja motor kembali, menutup sms Umi itu. Memindai jalan, semoga ada musholla di pinggirnya. Dan, alhamdulillah ketemu. Sebuah masjid megah nan elok. Sedap dipandang dan terlihat nyaman untuk ibadah. Tempat wudhunya pun oke punya. Tapi sayang, nasibnya sama dengan masjid-masjid lain. Sepi jamaah.


***


“Assalamu’alaykum akhy” salam berbunyi dari arah belakang tempatku memakai sepatu. Rasanya aku baru saja mendengar suara itu sebelumnya. Oh, iya! Ini kan suara imam sholat isya tadi. Suaranya merdu banget. Aku pun menoleh.

“Wa’alaykumsalam warahmatullah wabarakatuh...”, jawabku dengan senyum.


“Siapa nama antum akh?” tanya lelaki ini. Sang imam masjid rupanya berperawakan arab. Pakaiannya ghamis putih dan jenggotnya berewok. Sepintas ia mirip Syeikh Abu Bakar Asy-Syatiri. Qori’ ganteng lagi terbilang awet muda. Suaranya pun sebenernya mirip. 11 : 12 lah.

“Sulaiman ustadz” jawabku, yang kemudian ia iringi dengan duduk disampingku. Kami pun berjabat tangan.
“Antum tinggal di sekitar sini?” tanya ia sejurus kemudian.

“Enggak ustadz, rumah ana masih lumayan jauh. Ana baru pulang dari kantor, karena Isya’ ana mampir dulu”

“Oh, pantas kok rasanya ana baru pertama kali melihat antum sholat disini. Kenalkan nama ana Abu Razin, diberi amanah untuk jadi imam disini. Dan ana gak perlu dipanggil ustadz kok, insya Allah kita seumuran..” terangnya ramah dan akrab.

“Oh... afwan ustadz, eh, akh abu, hehe....”

“Ngomong-ngomong, tadi ana dengar antum tilawah akh. Masya Allah, ana mau menyampaikan pendapat ana nih. Jujur, tilawah antum bagus, tajwidnya sudah sempurna. Ana syahdu banget dengernya...” ucap dia.

“Alhamdulillah akh, dibandingkan dengan antum, ana sepertinya belum ada apa-apanya”

“Alhamdulillah, ana juga masih belajar kok akh...hehe. Ngomong-ngomong akh, boleh ana ngobrol-ngobrol sebentar dengan antum?” tanya ia.

“Hmm.. Boleh akh”  batinku sebenarnya heran bertanya-tanya. Ada apa gerangan?

“Gini, ana perhatikan wajah antum, afwan bukannya mau mencampuri urusan antum ya, tapi apa antum sedang ada pikiran? Ada masalah gitu? Mungkin ana bisa bantu...”

Sebenarnya, memang ada. Masalah Abah. Obrolanku dengan Abah waktu itu masih terngiang-ngiang di kepalaku hingga sekarang. Tentang niat Abah berangkat haji. Begitu mendadak, tanpa hujan dan tak ada angin. Semuanya pun sudah beres tanpa campur tangan dan sepengetahuanku. Kutanya Emak, ia pun tak tahu apa-apa. Tentu aku bingung. Bagaimana bisa? Aku ini anak semata wayang Abah dan Emak, dan Abah sendiri tidak punya kerabat atau sahabat yang begitu kaya dan baik hati untuk membiayai seluruh keperluan hajinya. Jika benar begitu, lalu siapa yang membiayai Abah berangkat? 

Yah, masalah itu mungkin tak perlu diungkit lagi sekarang. Toh, Abah sudah berangkat ke Arab sana. Saat ini ia sedang wukuf di Arafah. Menjalankan ibadah khusyuk sebagai tamu Allah. Aku sendiri sudah menitipkan doa-doaku untuk ia panjatkan. Tapi tetap saja, aku masih terus memikirkannya. Memikirkan uang itu, darimana ia? Dari langit langsungkah? Dan lagi, akh Abu ini cukup peka dengan masalahku. Apa aku perlu menceritakan unek-unekku ini padanya?

“Ehmm.... Apa tidak apa-apa jika ana bercerita akh?”

“Tentu tidak akhy. Mengapa harus sungkan? Ana ini saudara antum. Tidak?”

Kudiam sejenak. Aku kemudian mengubah posisi dudukku. Sebelumnya kami duduk bersebelahan menyamping. Kini, kami duduk bersila berhadapan.

“Ini tentang Abah ana. Beliau berangkat haji tahun ini,” ucapku serius.

“Masya Allah, ana doakan keselamatan bagi beliau dalam safarnya akh, dan pulang menjadi haji mabrur....” ucapnya. “Lalu, dimana letak masalahnya?” kali ini dia menatapku dengan wajah yang sudah dipenuhi rasa penasaran.

“Uangnya. Persiapan beliau berangkat akh.... Ana tidak tahu darima-...”

Beliau secepat kilat memegang bahuku, mencegahku berbicara lebih lanjut. Kuperhatikan ia sepertinya sudah mengerti apa yang akan aku katakan. Ia merenung sejenak, lalu setelahnya bangkit. “Tunggu sebentar akh”, berjalan cepat kakinya melangkah, pergi. Kemudian ia masuk ke sebuah pintu di sisi kiri lorong masjid. Sepertinya itu ruang sekretariat DKM.

“Afwan akh memotong bicara antum. Sebelumnya, ana ingin menunjukkan sesuatu ke antum..”
Di genggamannya kini muncul sebuah benda. Sebuah tablet putih yang kurasa itu memang miliknya pribadi. Di bagian belakang tablet itu tertempel cutting sticker berwarna hijau mengkilap dan bertuliskan untaian huruf-huruf arab. Cukup panjang dan rumit, lebih mirip kaligrafi. Namun, aku masih bisa membacanya. “Inna sholaati, wa nusuuki, wa mah yaaya, wa mamaati, lillaahi rabbil ‘aalamiin”. Aih, masih tetap tergetar hatiku membaca kalimat masyhur itu, walaupun ini sudah yang kesekian ribu kalinya.
Sekejap ditunjukkannya layar tablet itu padaku. Sebentar jari-jemarinya memainkan layar. Jarinya lentik seperti pemain piano. Aku lihat beliau membuka galerinya. File berjudul “Thawaf.avi” pun dicolek. Terbukalah player video, pula ia pause.

“Video ini...” prolognya. “.. Ditunjukkan oleh syeikh ana di Universitas Ummul Qura’ dulu. Mohon antum perhatikan baik-baik”. Kemudian video itu dilanjutkannya. Sudut yang diambil itu dari atas objek perekaman. Terlihat orang-orang berkain putih bergerak, berputar-putar dalam video. Banyak sekali, puluhan ribu mungkin. Mengelilingi sebuah bangunan kotak hitam ditengahnya, melawan arah jarum jam. Guruh-gemuruh suara dilantunkan berulang-ulang. “Labbaik Allahumma labbaik... Labbaik kalaa syariikala kalabbaik..” Terkemudian selesai. 1 menit. Begitu saja.

“Bagaimana?” tanyanya serius. Aku kemudian menatap wajah akh Abu. Kini aku mulai mengambil kesimpulan yang aneh-aneh. Akh Abu ini, orangnya nyentrik!

“Maksudnya akh? Ana tidak mengerti?”

“Bagaimana perasaan antum setelah melihat video ini? Apakah antum rindu Ka’bah? Apakah antum mau kesana? Tentu antum iri kan dengan orang-orang di video ini?” tersenyum ia. “Iya, tentu, ana mau kesana, dan saat ini Abah sudah disana, alhamdulillah....” jawabku.

“Akh...” pelan ia, “....maukah antum ana beritahu suatu hal yang mengejutkan?”. Kali ini ia mengalihkan wajah dan pandangannya ke langit yang kini tak berbintang lagi. Wajahnya mendadak berubah agak sedu sayu.

“Apa itu?”

“Ini adalah cerita syeikh ana dalam suatu presentasinya di kelas. Beliau adalah salah satu imam Masjidil Haram....” mulainya.

“Akh... menurut antum, mungkinkah diantara orang-orang Thawaf yang antum lihat dalam video tadi, ada yang tidak melihat Ka’bah?” tanyanya.

“Ha?.............” aku bingung sekaligus terkejut. Ka’bah itu besar! Persis di tengah-tengah Masjidil Haram. Tak ada tiang, bangunan, atau apapun yang menghalangi pandangan kita jika kita telah berada di tengah-tengah masjid itu. Mungkinkah Ka’bah tidak terlihat oleh orang-orang yang Thawaf tadi? Orang-orang yang jaraknya hanya beberapa meter dari Ka’bah itu? Tentu tidak! Tidak mungkin!

“Akh...” kali ini ia kembali menatap wajahku. “Perlu antum ketahui, tidak selamanya tamu datang adalah tamu baik-baik. Tidak melulu kedatangan itu buah ketulusan. Dan tidak ada dalam kamus keabadian bahwa salah satu cara dari cara-cara untuk menggapai kebaikan adalah dengan perbuatan dosa lagi nista...”

“Akh...” kali ini ia kembali menatap wajahku, dalam. “Kira-kira, apa yang akan antum lakukan terhadap tamu-tamu tersebut? Apa antum berpongah tidak enak ketika ia duduk? Apakah antum tidak menyuguhkan air ketika ia kehausan? Ataukah, antum mengusirnya?”

“Akh...” kali ini ia kembali menatap wajahku, lebih dalam lagi. “Tahukah antum... Tidak semua orang Thawaf, mampu melihat Ka’bah! Tidak semua!”

Kini aku terbelalak.

“Sungguh, Allah-lah sebaik-baik Penerima Tamu! Ia menjanjikan tamu-tamu An-nafsu Al-Muthmainnah dengan Jannah-Nya, tidak? Tapi, tapi akhy, jika tamu itu, jika orang-orang itu memang tak pantas menjadi tamu-Nya, bukankah Ia berhak untuk menolak? Bukankah Ia Maha Tahu lagi Maha Kuasa, akh?”

Aku terdiam. Sampai pada akhir percakapan selanjutnya, hanya cerita itu yang Akh Abu Razin sampaikan sebagai nasihat.


***


“Ka’bah itu besar! Persis di tengah-tengah Masjidil Haram!” cerita seorang tua yang begitu kusayangi sejak dulu ini. Disekelilingnya ada kerabat-kerabat jauh yang datang untuk menyambut kepulangannya. Terhidang dalam toples-toples kaca dan plastik, kacang-kacangan, mede, kurma, anggur kering, dan teman-temannya yang lain.

Aku, ya aku, senang sekali Abah kembali pulang dengan selamat. Tapi entah mengapa, aku tak ingin bercampur baur dengan kegembiraan hari ini. Aku hanya duduk sendiri di depan, di sebuah balai bambu berdenyit lucu. Sampai sebuah salam dari luar pagar menyadarkanku dari kegundahan yang tak kumengerti.

“Assalamu’alaykum...”

“Wa’alaykumsalam warahmatullah...” jawabku seraya menoleh asal suara. Di balik pagar besi rumah Abah, terlihat seorang petani yang aku tak tega mendeskripsikan tubuh dan pakaiannya.

“Oh, silakan masuk pak... Mau ketemu Abah?” ucapku sembari mencoba membuka gerbang.

“Iya, saya mau ambil tabungan”, jawabnya.

“Tabungan?”

“Anak saya sekarang sakit, TBC, lagi di puskesmas. Saya enggak punya uang dek untuk berobat. Jadi saya mau narik tabungan saya lebih cepat dari Abah.” pungkasnya.

Gerbang yang baru setengah terbuka itu pun berhenti.



***


“Akhy...” terangnya. “Menurut antum, mengapa orang-orang itu, orang-orang berhaji yang tak mampu melihat Ka’bah itu, kebanyakan tidak menanyakan keganjilan yang mereka alami kepada orang lain?”

“Tentu...” tambahnya, “... antum tidak mungkin menceritakan rasa sakit dari koreng di pantat antum ketika antum duduk-duduk bersama orang-orang, kan? Antum akan berpura-pura duduk normal seperti lainnya. Mengapa? Mengapa antum tidak bercerita? Karena itu aib!”

“Akhy”, tegasnya, “Orang-orang ini, mereka akan bimbang. Mereka akan galau. Tapi mereka akan tetap Thawaf mengikuti arus. Berpura-pura melihat Baitul ‘Atiq seakan disana....” mirisnya.

“Sampai, seketikanya mereka kembali, mereka akan terbagi dalam dua kelompok pembagian keputusan atas keganjilan mereka yang sulit” lanjutnya. Akh Abu, entah mengapa, ana berpikir agar antum diam kali ini. Ana seperti tidak ingin mendengarnya lebih lanjut. Sudah cukup akh, cukup...

“Kelompok pertama, mereka akan berintrospeksi, bermuhasabah diri, menganalisa berbagai faktor diri yang menghijabi matanya dari Baitullah. Mengapa Allah menghukum mereka seperti ini? Terkemudian mereka berbenah diri, berbenah hati. Mungkin karena orang-orang inilah Allah tidak menghancurkan pesawat-pesawat tamu-tamu Jahannam itu dengan sekali ledakan. Mungkin karena merekalah Allah tidak membelah tanah Haramain yang akan menelan tubuh mereka bulat-bulat saat mereka menginjaknya. Ya, karena pintu taubat dan ampunan-Nya, masih tetap terbuka, tidak?” tandasnya.

“Lalu... kelompok yang kedua...”, sejenak Akh Abu menghela dan mengambil nafas.

“Mereka akan mengambil denial, pengelakan-pengelakan, pembenaran-pembenaran, alasan-alasan, dan semacamnya-semacamnya, untuk menjelaskan keanehan itu, menerangkan keanehan pada mata mereka di Tanah Yang Dihormati...”imbuhnya

“Oh, mungkin karena mataku sudah mulai rabun...”

“Disana itu penuh dengan orang. Aku terdesak-desak, sehingga Ka’bah tidak terlihat...”

“Mungkin aku salah arah dalam memandang. Mungkin Ka’bah tidak disitu...”

“Ka’bah telah dipindahkan! Dasar arab jahannam!”


***


“Man... besok kamu libur kerja kan?” tanya ayahku malam ini. Malam ba’da isya di kampung ini masih menyelimuti kami yang duduk-duduk di teras berdudukkan balai bambu dengan kabutnya. Persis seperti kepulan asap pembakaran, tapi dingin. Balai bambu ini sendiri berdenyit-denyit lucu saat diduduki, apalagi kalau duduknya banyak gerak. Sementara gelas-gelas kopi pahit hasil garangan Emak telah terteguk sebagian, petak-petak sawah di hamparan mata itu telah tergarap oleh si empunya, basah berlumpur. Terlihat sih satu dua orang keluar dari peladangan membawa pacul. Bertopi caping berpakaian ala kadarnya. Duh, alangkah indah punya rumah disini. Rumah Abah dari dulu. Berbangun beton tingkat dua, terbilang real estate diantara gubuk-gubuk bambu reot orang-orang kampung. Padahal beberapa tahun lalu Abah beli tanah disini dengan harga murah. Maklum, pelosok, tanah seabrek-abrek dijual borongan, 5 juta 500m. Dibangunlah rumah olehnya, tak mahal juga harga pasir dan material lain disini. Alamak, klop sudah..

“Iya bah, kenapa?” tanyaku.

“Besok antarkan Abah ya...” suaranya pelan.

Dan, Abah pun menatap langit yang kini tak berbintang lagi. Terlihat sekali dari raut wajahnya bahwa pikirannya berkecamuk. Ia sedih. Ia menunduk, dan kemudian memijat-mijat pangkal hidungnya. Diiringi helaan nafas seakan guna melegakan masalah, ia tersenyum kecut dan menatapku...

“Besok, antarkan Abah ke tempat dokter mata...” ucapnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kurapika?

Teruntuk Bunga Mawarku..

Opor Ayam a la Bang Jamik