Belati





Hei, Da! Pernahkah terselip diantara keinginan-keinginanmu itu, sedikit saja, tentang matahari senja Kyzyl Kum? Tentang masa kecil kita? Tentang indahnya Aral dan sejuk angin paginya? Tentang langit Eli dan hangat kuku mentari sorenya? Jika engkau mengingat tentang semua itu, lalu bagaimana dengan cintamu?



“Mi............” begitu awal mula semua ini. Sebuah sahutan yang memecah kesunyian pandang-memandang kita terhadap matahari senja Kyzyl Kum. Kita saat itu hanya segerombolan bocah cilik yang menjadikan permainan dan sendau gurau sebagai tujuan hidupnya. Saat itu, Eli, hanyalah sebuah taman bermain kecil di antara taman-taman dunia. Dan saat itu, kita memang disana, berdirikan kaki-kaki culun kita, beralaskan pasir gurun yang bulir-bulirnya membelai lembut enam biji telapak kaki tanpa alas. Bersemai senyum menanti malam. Engkau, aku, dan Ru yang berdiri agak menjauh.

“Kelak, saat dewasa nanti, aku akan menghadap Paman Qhan...”

“...dan......ketika saat itu tiba, maka aku.........”

“Hm? Engkau apa?”

Aku menoleh menatapmu. Lalu engkau menunduk tersipu malu. Tersapu, dalam anganmu yang telah meracuni dirinya, seorang bocah kecil nan lugu. Menenggelamkan dirinya dalam perasaan yang tidak ia mengerti. Ya, saat itu aku hanya gadis kecil bodoh bin dungu. Begitu bodoh dan begitu dungunya bahkan hingga kalimatmu yang tak selesai itu telah terhujam hebat dalam setiap sudut relung rasa keperempuanan yang aku miliki. Menempel seperti parasit, untuk kemudian menyebar luas ke setiap inci pembuluh darah. Namun, tetap indah.

***


Da...

Masih ingatkah engkau?

Tetap lekatkah memori-memori itu dikepalamu?

Tentang indahnya Aral dan sejuk angin paginya?

Tentang langit Eli dan hangat kuku mentari sorenya?

Tentang bangkai kapal penyendiri itu?

Tentang setiap benda bulat yang kita jadikan bola bermain?

Tentang dawai ukulele yang engkau petik bersama tembang-tembang perjuangan suku Tatar?

Tentang sebuah ensiklopedia dekil yang entah dengan bahasa apa ia tertulis?

Tentang masa kecil kita?

Tentang masa muda kita?

Tentang cintamu?

Tentang aku?

Tidak. Kurasa tidak. Semua hanyalah sobekan-sobekan lusuh yang tak bernilai secuilpun. Bukan karena engkau kini hanya gumpalan daging dan tulang yang takkan bergerak lagi. Bukan. Tapi sejak awal, semua itu memang tak berharga, bukan?

Da, dirimu kecil masih kuingat jelas dalam bayang yang kucoba putar kembali layaknya sebuah trailer film. Seorang pria pendek culun dengan senyum siput malu-malunya. Sejak dulu senyum itu tak pernah ragu kau lemparkan kemana saja dan dalam kondisi apapun. Ketika orangtuamu pulang dari dagangan mereka yang susah larisnya itu sejak dulu, engkau tersenyum. Ketika orang-orang dewasa melawak tak lucu di dalam masjid menunggu waktu sholat, engkau tertawa maksa, lalu tersenyum. Ketika engkau terus-terusan dipanggil Pak guru karena nilai-nilai merahmu, engkau meminta maaf, lalu tersenyum. Dan, ketika aku menoleh saat itu, engkau tersenyum, dan memerah pula wajahmu.

Da, senyummu itu mematikan, seperti racun, terutama bagiku. Namun dengannya engkau mampu membangun dan menempa cita-citamu. Bersamanya engkau bisa membentangkan daftar panjang keinginan-keinginan seorang pria muda penjejak tanah tandus. Padahal semua impian itu adalah kemuskilan umum, bak rangkaian logika penduduk Armenia terhadap pembuatan bahtera Nuh di tengah daratan luas. Pernah suatu saat, engkau kecil mengatakan pada sinar rembulan redup sepulang shalat Subuh: “Kelak, ketika seluruh manusia telah jatuh pada jurang kelaliman. Kelak, di saat semua orang di dunia tidak peduli pada apa yang menjadi batasan serta nilai-nilai ukur dalam setiap tindakan mereka. Maka kelak, ketika itu semua terjadi, biarkanlah sayap-sayap Jibril menaungiku yang berdiri seorang diri disini! Di tengah-tengah dunia yang tak terdengar oleh mereka ini! Sembari mengepalkan tangan ke atas dengan panji berkibar dan Karachnikov tersandang. Untuk melawan mereka! Untuk menegakkan sisa-sisa keadilan itu!”.

Dan, Ru sendiri malah tersenyum lebar, menepuk pundakmu tanda setuju.

Da, engkau pernah mengatakan padaku bahwa engkau akan menjadi Presiden PBB. Entah apa benar ada jabatan seperti itu, aku -dan aku yakin engkau kecil pun- tidak tahu. Engkau bilang dengan menduduki kekuasaan tertinggi manusia bumi, untuk mengarahkan garis dinamika zaman mengikuti jalur seharusnya yang lurus. Menjadikan bumi dan seisinya menjadi tanah yang dirahmati dan disejahterakan. Menjanjikan kebaikan kepada setiap subjek kehidupan bahkan yang paling kecil sekalipun. Da, engkau tidak pernah peduli bagaimana dan sulitnya. Engkau tidak pernah tahu makar dan rentetan duri jalan yang menerjangmu. Engkau adalah seorang pria kecil bervisi besar. Ya, tak salah memang engkau seperti itu. Namun, Da, didalam visi besarmu itu, didalam jajaran angan-anganmu, masihkah terdapat diriku yang dulu bermandikan cahaya sore bersamamu?

Dan, Ru sendiri malah tersenyum lebar, menepuk pundakmu tanda setuju.

Da, waktu pun bergulir cepat bersama angan-angan itu, menjadikan diri kecil kita sampai pada suatu titik kematangan tertentu. Engkau, aku dan Ru kini telah beranjak muda, beranjak dewasa. Sudah sejak sebelum ini jalan kita berjarak melebar. Kodrat kita menjadikan diri kita memang tak selayaknya berdekat-dekatan.  Namun, aku masih tetap memperhatikanmu dari kejauhan. Memperhatikan engkau tumbuh menjadi pemuda gagah yang disegani orang-orang kampung. Memperhatikan setiap gosip yang timbul dari tindakan-tindakan gilamu. Memperhatikan mimpi-mimpi besarmu yang terus meluap-luap. Dan seiring waktu, seirama menjauhnya jarak kita, mimpi-mimpimu sudah terlampau besar, dan diriku kian mengecil dalam anganmu.

Da, engkau tak pernah habis dalam bermimpi. Engkau tak pernah putus asa dalam khayalanmu yang muluk. Bahkan kini engkau tak hanya memimpikan dunia. Engkau mulai menjangkaukan  asamu ke ranah transeden itu: akhirat. Engkau kecil ingin mengubah dunia, namun engkau muda ingin mengubah dunia untuk akhirat. Da, kudengar gosip engkau akan berangkat ke Aleppo katanya. “Mau jihad” ucap mereka menirukan jawabanmu. Tentu aku senang, Da. Aku bahagia engkau ingin menunaikan panggilan Ilahiah itu. Siapa yang sengsara dengan kabar itu? Tentu hanya kerabat-kerabat fasik yang sudah berpenyakit wahn akut. Tapi Da, ketika engkau mengatakannya, apakah engkau masih mengenal seorang gadis dari senja gurun kala itu? Apakah engkau mengerti perasaannya? Kegelisahannya menunggumu dibalik pintu kayu reyot ini?

Dan, Ru sendiri malah tersenyum lebar, menepuk pundakmu tanda setuju.

Hei, Da! Iya kamu, kamu yang saat ini terbaring bersimbah darah didepanku. Bolehkah aku bertanya? Hei, Da! Pernahkah terselip diantara keinginan-keinginanmu itu, sedikit saja, tentang matahari senja Kyzyl Kum? Tentang masa kecil kita? Tentang indahnya Aral dan sejuk angin paginya? Tentang langit Eli dan hangat kuku mentari sorenya? Jika engkau mengingat tentang semua itu, lalu bagaimana dengan cintamu?

Selalu saja, selalu, engkau membuat diriku dan orang sekampung terjelengar hampir tak dapat menutup mulut. Iya, engkau adalah pemuda harapan umat manusia. Engkau adalah anak mimpi-mimpi yang kebetulan terbuai lahir melalui rahim seorang wanita di tengah dunia antah berantah. Dan kelak, ketika semua harapan dan mimpi-mimpi manusia telah putus tak berbekas, maka engkau akan berdiri berada dalam naungan sayap-sayap Jibril. Namun, semua itu, semua keheranan dan ketakjuban kami terhadapmu, tak lain hanya buah pahit tak bermakna dari ucapanmu kan?

Da, semua angan, mimpi, harapan, asa, atau apapun itu yang tercurah hebat dari mulutmu, hanyalah omong kosong gurun! Persetan itu dengan Presiden PBB! Persetan itu dengan Aleppo, dunia atau sisa-sisa keadilannya! Persetan dengan sayap Jibril! Persetan dengan kematianmu, Da! Persetan!!

Da, maka, atas semua keinginanmu itu, berturut dengan doaku, membusuklah! Busuk sebusuk-busuknya! Enyahlah tubuh hinamu ini! Hancur! Rusak! Lumat! Terbelah-belah! Untuk kemudian terurai dimakan cacing-cacing kuburan! Lalu jiwamu sendiri mengambang ambigu, kebingungan, tersesat, dan jatuh ke lubang neraka. Maka, Da, berenang-renanglah engkau dalam kubangan api Jahannam itu! Bersama iblis berkepala kambing dan setan-setan culas lagi menyeramkan. Bergerombol dengan jiwa-jiwa pendosa, tukang maksiat, pembunuh, pelacur, munafik, dan sebangsa mereka!

A-aku, aku sudah tidak peduli lagi, tidak lagi Da...


***


“Ru, sebelum kita berangkat dan tak bisa mengambil langkah mundur, sekali lagi kutanya, apakah engkau telah memantapkan hatimu?”

“Ya”

“Sudah memohon izin dan doa orangtuamu?”

“Sudah!”

“Baiklah....”

Kemudian ia tersenyum dan bangkit. Menatap cakrawala malam sebelum fajar pada hari yang kita nanti-nantikan tiba. Besok, kami akan pergi dari kampung ini dan menegakkan sisa-sisa keadilan di Aleppo. Kami sudah mempersiapkan semuanya, baik bekal materi maupun yang terpenting yakni bekal jiwa. Entah sejak kapan kami mempersiapkan itu. Kami bahkan telah menabung sedikit-sedikit dengan uang saku sejak masa kecil kami, sejak masa-masa dimana kami masih bermain bertiga bersama Mi. Ah, kalau ingat masa-masa kecil itu, kepalaku jadi sakit karena merindu. Ngilu gigi, tapi dengan ngilunya mampu membuat aku tersenyum. Dan malam ini, aku masih bisa mengenang masa itu, tersenyum, bersama orang gila ini.

“Da, masih ingatkah engkau dengan janjimu pada Mi?” tanyaku.

“Tentu saja!”

“Lalu, kapan engkau akan menepati janji itu? Menghadap Paman Qhan?”

Ia diam, dan kemudian menyeringai.

“Mengapa? Engkau naksir dengan Mi? Hehe”

“Tidak!”

Ia lalu merenung sejenak. Kemudian ia merapatkan ketiak, menyudutkan sikunya, melebarkan dengkul sedikit seperti kuda-kuda, menarik napas dalam dan berteriak di tengah kegelapan malam,

“Aku pasti akan menepatinya, Miiiii!! Pastiiii!! Ketika aku berhasil menegakkan sisa-sisa keadilan di Aleppo, aku akan pulaaang!! Pulang kerumahmu, Miiiiii!! Dan langsung menghadap paman Qhaaaannnnn!!”

Suatu pengetahuan baru seperti jatuh menimpa kepalaku. Da, mengapa baru sekarang, ya? Mengapa aku baru menyadarinya? Sifat terjelekmu itu, aku kini tahu : Engkau terlalu banyak bermimpi dan berjanji.

“Ru, kau mau ikut?”

“Ha?”

“Masih ada satu orang yang belum kita temui untuk pamitan”

“Siapa?”

“Mi!”

“Tidak”

Seketika itu ia pergi meninggalkanku tanpa bertanya mengapa. Justru malah dalam diriku kini muncul sebuah pertanyaan. Apakah Mi sanggup mendengarnya?


***


Para pelayat kini sudah pulang, dan keluarga yang berkabung sudah menyeka air mata mereka. Tapi, wanita itu masih berada di sisi gundukan tanahnya. Menangis meraung-raung, menjelempah, memeluk-meluk gundukan itu seakan-akan ia adalah gundukan tanah paling berharga di muka bumi. Walau awan ikut menangis, tapi mereka tetap tak sampai memeluk gundukan tanah bau lagi becek ini. Mereka tidak berlebih-lebihan dalam bersedih.

“Mi.......”

Kupayungi dirinya dengan tubuhnya yang telah kuyup, dan dia tidak menoleh sedikitpun. Sebenarnya, aku juga tak ingin dia menoleh. Aku khawatir iba. Aku kesini hanya membawakan belati ini untuknya. Belati yang dibungkus plastik bening dan telah tercatat nomor yang tak kumengerti.

“Belati ini, adalah belati yang telah membunuh Da...”

Mendengar kalimat itu ia menoleh. Serta merta ia menyambar bungkus belati itu dari tanganku. Terdengar berat napasnya. Ia berusaha menyembunyikan sesuatu, ya. Menyembunyikan kenangan belati itu dalam dekapannya seorang.

 “Ru...” wajahnya sembab.

“Apa?”

“Da........ Da telah pergi..... Ia mengkhianatiku....”

Kemudian berjelejehan lagi air matanya, cih.

“Dan?”

“Aku..... A-aku tidak ingin selamanya disini...!!”

“Lalu?”

Ia meletakkan sang belati pada pangkuan, dan menjulurkan kedua tangannya padaku, seperti orang menyambut.

“A-aku.. aku ingin bersamamu, Ru.... Hanya bersamamu!”

Aku diam.

“Ma-maukah kau..... menikahiku?”

Tak perlu pikir lama. Sudah pasti jawabanku.

“Tidak!”

“Ke-kenapa...?”

“Sangat jelas Mi. Aku tidak ingin seperti Da. Aku pamit.”

Seketika itu aku pergi meninggalkan wanita ini. Meninggalkan makam sahabatku pula. Terkemudian aku memejamkan mataku sejenak, menahan tangis yang sudah dipelupuk. Karena, hari ini, adalah hari aku berangkat ke Aleppo sendirian. Memunggungi sejuta kenangan kita. Memunggungi kampung halaman kita. Memunggungi sebuah gundukan tanah, bersama seorang pembunuh yang menangisi korbannya serta sebuah belati berbungkus plastik bening.


***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kurapika?

Mengapa Harus Memimpin ??

Ka'bah itu Besar! Persis di Tengah-Tengah Masjidil Haram