Era dan Eria
Malam ini,
adalah jam-jam terakhir hidupnya. Bintik-bintik hitam bernanah di tubuh kurus
itu, tiba-tiba saja menghilang seminggu lalu. Lelaki itu mengerti benar apa
yang akan terjadi. Seonggok jiwa penuh dosa akan segera menyusul sang rembulan.
Menyusul wanita yang mengubah sikap dan persepsi busuknya akan hidup. Melayang
terbang untuk akhirnya jatuh menimpa kubangan kemunafikannya sendiri...
Tidak....
aku tidak tega menceritakannya kepada kalian....
Maaf kawan,
aku tidak seperti Era....
***
“Akh...
dimana ini?” terbangun ia dari pingsannya. Reflek tangan kanannya, meraba dahi
yang seharusnya memerah berdarah-darah.
“Perban?
Tapi siapa?” agaknya luka menganga malam itu, kini telah terbungkus kain putih,
rapi, bersih.
“Tenanglah
orang asing, kamu aman disini..” sahut sebuah suara, begitu indah, merdu
melenakan jiwa. Tapi dari mana suara itu ? Si dahi memar kemudian menolehkan
wajahnya kesana kemari, mencari sumber suara. Di kanan, tidak ada. Di kiri,
tidak ada juga. Di atas ?
Dan... dua
pasang mata itu bertatapan dalam, berpilin dipertemukan takdir
***
Surat gulung
coklat bercap resmi Eria menggandeng tangannya, erat. Didalamnya tertulis apa
yang harus dicari dan dilakukan di Romuva. Perbekalannya pun ia rasa cukup. 5
potong roti gandum, sekantung air bersih, tenda dan selimut, serta beberapa
keping uang perak pemberian bendahara Raja mengisi penuh tas gendong butut yang
menggantung di punggung. Langkahnya bersemangat, membuatku heran bukan main.
Padahal malaikat maut bisa saja menyapanya di tengah jalan, atau di bahkan
pinggir jalan pun boleh.
“Sekarang
saatnyaaa!” teriak ia.
“Semakin
dekat dan semakin dekat saat pembuktian kehebatanku. Aku penasaran akan seperti
apa nanti wajah orang-orang dusun bodoh itu. Mereka akan menelan ludahnya !”
batinnya picik.
“Akan
kubuktikan pada mereka, tidak, akan
kubuktikan kepada seluruh dunia ! Akan kuteriakkan ke antero jagad, agar
mereka mendengar ! Agar mereka tahu !” berapi-api, memancar kejam dari wajah kempot kekurangan
gizi, dibungkus keyakinan mengada-ada....
***
“Mengapa
engkau mau melakukannya, wahai anak Tartaros ?? Memang sayembara ini terbuka
untuk semua orang, tapi engkau tentu mengerti bahaya yang akan engkau hadapi.”
tanya pria kumis tebal berperawakan Hercules di depan gerbang, heran.
“Itu...karena
... ehmm... karena aku ingin berbakti kepada rajaku. Sungguh, ia adalah raja
yang adil dan bijaksana”, mulutnya berucap. Tapi batinnya berkata “Persetan dengan
Raja !!”
“Aku tak
mungkin kan hanya berdiam saja dengan kondisi kita ini. Cacar hitam sudah
menyebar dimana-mana. Sebagian besar penduduk sudah terjangkit. Aku mengerti,
aku tau bahaya dalam perjalanan nanti. Aku tau betul. Dan aku siap mati dalam usahaku
!”, aktingnya sangat meyakinkan. “Jadi kumohon , izinkanlah aku masuk...”
“Tapi
tubuhmu terlihat begitu kecil dan kurus. Aku tidak yakin engkau akan berhasil. Bukankah
orang-orang yang jauh lebih kuat dan hebat sebelum dirimu, semuanya gagal dan tidak
ada yang kembali?? Bagaimana jika engkau menyerah ?? Bagaimana jika engkau
justru berkhianat kepada kami, dan menyebarkan berita wabah ini kepada musuh ??
Bagaimana kami bisa mempercayaimu ??” rupanya sang pengawal tetap pada
pendiriannya. Sepertinya ia juga merasakan kebohongan dari pemuda itu, bau
busuk yang sama yang juga aku rasakan.
“Percayalah
pengawal, aku tidak seperti orang-orang bodoh berotot tanpa otak itu. Aku juga tidak
akan berkhianat kepada negeriku sendiri. Bagaimana mungkin ?? Negeri ini adalah
negeri yang begitu kucintai, sebuah negeri indah yang sudah menjadi kampung
halamanku sejak aku menghirup napas !! Bukankah engkau mengenal ayahku?
Kecintaanku kepada negeri ini, sama besar dengan cinta ayahku padanya...”, kini
dialektika yang digunakan benar-benar mantap, tak terbantah. Wajah pria kumis
tebal berperawakan Hercules di depan gerbang yang dari tadi dijuluki 'pengawal'
itu berubah, mulai mengiyakan dan menyerah.
“... Baik,
jika engkau masih ragu, engkau bisa menyimpan ini sebagai jaminan. Ini adalah
hartaku yang paling berharga. Pemberian ayahku yang gugur 5 tahun lalu,
mempertahankan kerajaan kita dari serangan suku nomaden Hux yang mengerikan”,
ia kemudian mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Ternyata sebuah koin emas
berukiran kaligrafi Cina. Berkilauan. Layaknya kumpulan bintang-bintang
kemuning di sore hari, ditumpuk, dipanaskan, dan ditempa oleh pandai besi
terbaik di seluruh pelosok Bumi.
“Huh,
baiklah, aku tidak bisa berdebat lagi denganmu. Engkau benar-benar keras
kepala, seperti ayahmu itu. Ayo, aku antar kau menemui raja. Tapi perlu kau
catat, kau garis bawahi, lalu kau ingat baik-baik, bahwa aku sudah benar-benar melarangmu.
Jika algojo raja memancung kepalamu, maka salahkanlah ibumu yang telah
melahirkan bocah tengik bodoh seperti dirimu!”
“Hehe, baik,
sudah kucatat ! Terima kasih pengawal”, ia tersenyum, berbinar.
***
“Ya, aku
kenal dengan ayahmu. Dia adalah seorang pejuang sejati. Aku begitu
menyayanginya, seperti anakku sendiri. Tahukah engkau, hingga sampai saat ini
pun, aku masih bersedih atas kepergiannya....”, sedikit demi sedikit, tetes
demi tetes, orang tua di ujung aula besar ini, yang seakan-akan semenit lagi
mati, menangis, membasahi wajah keriputnya yang arif dengan air asin, wajah
keriput yang dulunya begitu disegani bahkan oleh para dewa sekalipun.
“Anak muda,
walaupun engkau adalah anak laki-laki dari orang sehebat Tartaros, tidak
berarti engkau sekuat dirinya. Aku ragu. Aku menghargai niat baikmu. Tapi ini
adalah amanah yang besar. Engkau harus menemukan tanaman itu sendiri, di Tanah
Para Setan, Romuva. Hanya dengan modal semangat menggebu-gebu engkau tidak akan
berhasil. Engkau belum mengenal dunia selain kerajaan ini. Ke Era pun aku yakin
engkau belum pernah. Engkau belum tau seberapa ganasnya hutan Elderwood yang
membentengi kita. Pernahkah engkau melihat serigala hitam Saberfang?? Aku
berani bertaruh, engkau akan mati berdiri hanya dengan melihat mata merah
binatang neraka itu !!”
“Tapi raja,
kumohon, izinkan aku. Engkau katakan engkau mengenal ayahku. Engkau katakan
bahwa engkau menyayanginya. Apakah engkau mau membuatnya kecewa dengan melarang
anaknya untuk mengemban tugas kerajaan ?? Lagipula, apa susahnya mencari
beberapa tanaman kecil ? Jika aku berhasil,
maka wabah akan berhenti, dan semua orang akan sembuh, termasuk engkau !
Engkau akan hidup ratusan tahun lagi, baginda...” lagi-lagi dialektika !
“Ck...” raut
wajah sang raja berubah kesal... “Perlu kau tahu, aku sudah terlalu tua untuk
menjadi raja negeri ini lagi. Aku sudah lelah menghabiskan 80 tahun hidupku
mengambil keputusan-keputusan. Aku tak ingin hidup lebih lama lagi. Aku sudah
habis, anak muda ! Tak ada harapan. Eria pun sudah berada di akhir usianya.
Cih, Pergilah ! Pergilah sesukamu ! Aku tidak punya urusan dengan dirimu ! Aku
mungkin menyayangi ayahmu dan menganggap ia bagian dari keluarga kerajaan, tapi
engkau! Engkau itu bukan siapa-siapa bagiku! Bahkan bagi kerajaan ini engkau
tak lebih dari seorang pemuda teler ! uhuk....uhuk....”, meregang, menegang
wajahnya marah. Si anak Tartaros ini memang tak bisa dinasehati atau apa ?
Maunya apa ?
“Terima
kasih, paduka raja...” kembali senyum itu merekah. Secepat kilat ia pergi,
meninggalkan seorang raja tua yang sudah berada pada batas hidupnya.
***
“Hah !! Gila
!! Engkau hendak pergi ke Romuva seorang diri ?? “ teriak seorang pria, kurir
kerajaan. Marco namanya. Marco Polo lengkapnya. Orang tuanya dulu menginginkan
ia menjadi seorang penjelajah. Dan syukurnya tercapai, jadi kurir.
“Jangankan
engkau, Tartaros sendiri pun dapat dipastikan kehilangan nyawanya jika pergi
kesana...” timpal seorang lagi, seorang tukang kayu. Nama orang ini Esteban,
tapi warga sekitar menjulukinya Axe, bukan karena ia seorang penebang pohon,
tidak, ia menebang pohon dengan gergaji. Nama itu didapatnya karena seumur
hidup ia tidak pernah melakukan kejahatan, selain satu hal, yakni ia pernah
menghilangkan kapak milik orang lain yang ia pinjam. Ia menangis minta maaf di
depan rumah orang itu, 3 hari tidak berhenti. Orang ini jelas-jelas melankolis.
“Ya, terima
kasih atas tanggapan kalian. Tapi aku sudah membulatkan tekad. Aku akan
menjalankan tugas ini, dan kembali pulang ke Eria dalam kondisi utuh...”
“Hahaha...
polosnya. Engkau masih muda nak !! Engkau tidak tau apa yang akan engkau
hadapi. Berapa umurmu sekarang ??” tanya Marco si Penjelajah alias kurir.
“20 tahun
minggu kemarin...”
“Bwahahahaha....
Aku jamin umurmu itu maksimal 20 tahun 8 hari nak...”, olok sang tukang kayu,
terbahak lebar menganga. Lama sekali. Mendengar cerita si bocah yang
menggelikan itu pun, pria melankolis bisa berubah menjadi sanguin.
“Tidak
masalah buatku...”, kesal ia diejek.
“Yah,
maafkan ucapan kami nak. Terserah engkau sajalah, engkau mau kemanapun itu
urusanmu. Kami pun berharap padamu, semoga engkau berhasil mendapatkan akar
rumput kelelawar. Hanya itu obat wabah ini. Tapi satu pesanku, sayangilah
hidupmu. Jagalah ia baik-baik.” nasihat sang kurir.
“Yap, benar sekali. Jangan sampai engkau
menyesali kesalahan dari perbuatanmu di kemudian hari. Karena setiap penyesalan
itu, hanya buah keterlambatan dari kesadaran dirimu...” tambah Axe, yang
kemudian murung mengingat kejadian yang menjadi asal-usul panggilannya.
“Ya pak,
terima kasih atas nasihat kalian. Terima kasih juga telah menemani malamku
ini...”
“Tidak
masalah nak” jawab Axe, masih dengan muka pilu. “Namun ini adalah malam
terakhirmu melihat manusia sampai engkau kembali lagi kesini, seandainya engkau
selamat.”
“...................................”,
tunggu? Malam terakhir? Berarti setelah ini, aku sendirian? Bertanya-tanya ia
di dalam hati. Tapi kenapa pas di tengah jalan baru muncul perasaan takut ini ?
“Baik, aku
tak bisa berlama-lama. Aku ingin beristirahat. Istriku pun tentu sudah menunggu
di rumah dengan masakan makan malamnya... Aku izin, semoga kalian semua selamat
ya”, kalimat itu kemudian diiringi dengan langkah gontai dari Axe, meninggalkan
kemah mereka berdua.
“Aku juga
hanya bisa menemanimu malam ini nak. Besok kita akan berpisah jalan di
persimpangan Crucifice. Aku akan mengambil arah kanan ke Port de Prince, dan
engkau harus mengambil jalan kiri untuk sampai ke Tanah Tak Terjamah Romuva”
bisik Marco.
“Lalu
setelah ambil jalan kiri, kemana lagi arahnya ??” tanya si pemuda bingung.
“Hahaha...
kau ini bodoh atau apa ?. Mana aku tau ? Memangnya aku pernah kesana ? Tidak
ada yang tau jalannya anak muda, engkau harus mencari jalannya sendiri di
tengah lebatnya hutan Elderwood. Sudah kubilang kan, ini tidak semudah yang
engkau kira..”
Wajah pemuda
itu pun semakin memucat. Terlihat jelas rasa takutnya mencuat penuh. Kini ia
sadar, mengapa orang-orang begitu keras menahan dirinya untuk pergi. Sekarang,
masihkah ia berangkat untuk niat tak tulusnya itu ?
***
***
“Seseorang....
tolong .....hhh, tolong akuuuu..... kumohooonnnnn !!!!”
Sekelebat
bayangan lari terengah-engah di tengah malam, seakan dikejar-kejar oleh sesuatu.
Rupanya itu adalah si pemuda kerempeng. Sekarang ia merasakan efek penuh
kebodohan dirinya. Rembulan purnama menjadi saksi malam itu. Ketakutan dan
proses pembantaian seorang muda belia. Ah,, kenapa engkau begitu kejam,
rembulan? Apakah engkau takut dengan Elderwood ? Selamatkanlah ia....
“Wahai
ayah.... Apakah aku ini memang lemah ? Kenapa engkau bisa memiliki anak seperti
diriku ?...... Apa aku hanya sampah, ayah ?” meleleh, memerah mata itu
mendekati kematian majikannya. Sosok menyeramkan yang mengejarnya kini sudah
semakin dekat dan dekat.
“Mereka
benar kan yah ? Mereka benar, aku... aku.... “ semilir angin malam semakin
keras melayangkan lantunan lagu kematiannya. Patetik.
“Aku tidak,
seperti dirimu....Jauh....jauh sekali.... mungkinkah aku bukan anakmu, yah ?”,
sungguh aku tidak tega melihat kejadian itu. Aku palingkan wajah dan menatap
rembulan yang masih membisu, menyinari si pemuda, berkabung.
Makhluk
hitam itu masih mengejarnya. Terdengar dari suara mereka kucing-kucingan.
Sebentar kulihat. Rasanya itu bukan Saberfang, lalu? Oh, ternyata hanya beruang
madu biasa, tubuhnya kecil, tak lebih dari 1 meter.
“Aku salah
ya ? Aku berbohong ?.... Aku membohongi mereka semua, seakan-akan aku pahlawan
yang tiba-tiba muncul hendak menyelamatkan Eria....Hhh hhh hhh” terengah-engah ia
berbicara. Habis jatah umurnya. 20 tahun 8 hari.
“Akkk....uuuu”
Sekejap
kemudian sang beruang muncul hendak mencabiknya dari belakang. Kuku beruang itu
melayang bersama kibasan tangannya yang kuat. Biasa saja untuk ukuran binatang
buas Elderwood....
***
***
“Perkenalkan,
namaku Athena. Siapa namamu ?”, suara indah, merdu melenakan jiwa itu
berlanjut, bertanya, pada lelaki asing bodoh di pembaringannya.
“Namaku ?
Tapi dimana ini ? Kenapa aku tiba-tiba berada disini ?”, ia melihat sekeliling.
Dilihatnya sebuah rumah kayu minimalis nan cantik, dengan beberapa perabot
seperti meja dan kursi yang tampaknya semua dibuat tanpa kemahiran seorang
perajin kayu. Tapi, tetap rapi dan elok.
“Tenangkan
dirimu, apa engkau ingat kejadian yang terjadi pada dirimu semalam ?” tanya
wanita itu, dengan suara yang indah, merdu melenakan jiwa. Dan wajahnya, ya,
wajahnya, tak sebanding dengan cahaya sekalipun, cahaya disinari cahaya,
secercah cerah cahaya rembulan.
“Tadi malam
? Ah, tadi malam ! Aku ingat ! Tadi malam aku mati ! Saberfang menerkam dan
mencabik-cabik setiap inchi dagingku. Dan sekarang, aku di surga ? Surga dari
kayu ? Dan engkau ? Bidadari ?” kebodohan itu masih memeluk erat kepalanya.
Benturan tadi malam rupanya tidak berefek apa-apa.
“Haha...
kamu lucu pengembara.... Kamu itu masih hidup !”
“Hidup?”
“Ya. Malam
itu engkau dikejar oleh seekor anak beruang Grizzle. Aku melihatmu terbirit-birit
dari kejauhan. Engkau hampir saja dicabiknya. Beruntung engkau terperosok jatuh
ke sebuah lubang. Secepat mungkin aku menyelamatkanmu dari hewan itu. Lalu
kulihat engkau pingsan dengan kepala terluka parah..”, cerita gadis itu, anggun
sembari membawa nampan, menyerahkannya kepada si pemuda, yang ternyata berisi
sepiring daging rusa bagian paha yang telah dipanggang dan segelas susu segar.
“Jadi ?
Aku??” duh, bodohnya ia masih bertanya. Gelas susu kambing di nampan disambar
cepat setelah pertanyaan itu.
“Jadi engkau
selamat ! Sekarang engkau di rumahku, di tengah hutan Elderwood !”
Buurrrrr. Di
tengah ? Tengah apa ? Elderwood ? Apa dia bercanda ?
“Engkau
belum memperkenalkan namamu orang asing !”
“Aah,
namaku.... Albatros”, sejurus tangan kanan menjulur, mau menjabat. Dan
akhirnya, sekarang kita tahu nama pemuda ini. Albatros, untuk selanjutnya ia
tidak akan disebut dengan kata ganti.
“Burung ?”
pertanyaan yang menyakitkan terlontar, menyindir orangtua Albatros yang begitu
bodoh memberi nama.
“Terserah engkau
lah. Engkau sendiri, dewi ?”
“Haha... aku
benar, engkau lucu ya”
“Tapi..., apa
benar ini di tengah Elderwood ? Kenapa engkau bisa tinggal disini ? Engkau
tinggal seorang diri?” wajah Albatros kemudian menoleh ke jendela, melihat
keadaan sekeliling rumah. Tidak ada suara maupun wujud orang lain selain mereka
berdua. Tak salah lagi, ini memang di tengah hutan. Tapi, mengapa? Mengapa
gadis cantik ini bisa tinggal di tengah hutan belantara yang begitu mengerikan
ini, seorang diri? Pertanyaan itu, sebuah kalimat tanpa jeda yang membuat wajah
ceria Athena berubah 180 derajat.
“Aku...”
lirihnya
“I...iya...”
“Aku.....
tidak pantas hidup ! Aku adalah orang buangan....” wanita itu, sejurus awal
terisak pelan, kemudian menangis sejadi-jadinya. Tapi, mengapa? Albatros masih
belum memahami situasi ini.
“Sudah,
tidak apa-apa. Aku hanya teringat masa lalu yang tidak ingin aku ceritakan...”
hanya itu jawaban tangis tadi. Albatros tidak puas.
“Kalau
begitu, apakah masalah jika aku menginap beberapa hari di rumahmu ? Sekadar
untuk menyembuhkan luka ini, hehe...” ditunjuknya perban di kening, sembari
tersenyum.
“Ya, boleh
saja... Tapi, janji ya engkau menceritakan siapa dirimu dan untuk tujuan apa
engkau masuk ke hutan Elderwood ini” senyum tadi dibalas pula dengan senyuman,
cantik, namun getir terlihat.
“Baik dewi,
hehe...” jawab Albatros, tersenyum.
***
Elderwood
yang angker dan mengerikan itu, kini seakan-akan telah berubah menjadi padang
rumput kering di musim kemarau. Padang rumput yang menunggu datangnya hujan
beberapa bulan lagi. Sayangnya aku tidak ada disana. Yang ada disana hanya dua
orang insan yang berbagi kisah. Sebuah kisah pada dimensi 12 tahun di belakang
masa ini. Intrik politik kejam yang menyayat hati para pembaca sejarah. Cerita
yang disimpan rapat-rapat dalam sebuah kotak, dikunci, dan kuncinya dibuang
jauh-jauh dari intipan masa. Athena oh Athena, engkau tidak perlu menanggungnya
seorang diri, kan?
***
“Albatros,
sudah 6 hari engkau disini. Apa engkau tidak mau melanjutkan perjalanan untuk
mencari akar rumput kelelawar dan menyelamatkan Eria ?”
Hmm... 6
hari ya? Lama sekali.... Memang keinginanmu lemah, Albatros! Luka seperti itu
saja, butuh hampir seminggu istirahat. Engkau tidak ikhlas menyelamatkan Eria
!! Engkau hanya ingin pamer bahwa dirimu bisa sekuat ayahmu dan menjadi
pahlawan !! Manusia rendahan kau !!
“Aku... entah
mengapa, aku tidak ingin pergi, Athena.” sahut Albatros. Wajahnya tidak seperti
dulu, kempot dan jelek layaknya pemadat. Ia lebih segar, sekerat daging telah
mengisi pipinya. Tatapan matanya pun teduh, sepertinya selama ini ia
terus-menerus merenung.
“Apa
maksudmu ? Bukankah kepergianmu itu untuk menyelamatkan Eria dari wabah cacar
hitam? Bukankah kepalamu sudah sembuh ? Cepat pergi dari sini sebelum aku
mengusirmu dengan paksa !”
“Kau tidak
perlu berbohong padaku, Athena ! Aku sudah tahu !” ungkap Albatros, sembari
menatap dalam wajah Athena.
“Berbohong ?
Berbohong apa ?”
“Aku menyadarinya,
Athena ! 12 tahun lalu! 12 tahun lalu yang mengerikan itu! Itulah satu-satunya
alasan logis mengapa engkau disini...”
Tertegun
gadis itu mendengar angka yang diucapkan Albatros. Mungkinkah Albatros tahu hal
itu ? Kenangan yang berusaha ia kunci rapat-rapat di sebuah kotak ?
“Aku ingat itu!
12 tahun lalu! Saat itu, aku masih bocah ingusan yang tidak mengerti apa-apa.
Tapi aku ingat, 12 tahun lalu, wabah ini juga pernah menyerang Era dan Eria
bukan ?”
Benar !!
Albatros tahu ! Habis sudah.
“Demi
mencegah meluasnya wabah, maka dua kerajaan ini...” tak kuat, suara Albatros
parau menahan sedih.
“A... Apa
maksudmu ? Aku...Aku tidak mengerti !” terdengar jelas, Athena menyembunyikan
sesuatu. Wanita memang tidak pandai berbohong..
“Engkau,
engkau adalah salah satu dari penduduk yang dibuang ke Elderwood karena wabah
cacar hitam 12 tahun lalu kan? Aku ingat sekarang. Engkau dan penduduk lainnya
yang terjangkit, sengaja dikorbankan! Kalian dibuang dan dihina oleh
masyarakat. Kerajaan akhirnya memutuskan untuk mengucilkan kalian ke hutan ini.
Tidak ada itu serigala Saberfang. Tak ada kawanan Phantom yang hobi menghisap
jiwa manusia. Tak ada keganasan hutan Elder. Semuanya diciptakan, dan
dipermainkan bukan ? Bodohnya kami karena melupakan kalian...”
Athena
terdiam.
“Semua mitos
tentang hutan ini, semua cerita keganasannya, semua itu hanya karangan kan? Itu
semua hanya dibuat untuk menghindari penduduk Era dan Eria dari kalian ! Supaya
wabah tetap terkarantina di Elderwood”
Kali ini
Athena menangis, sedu rendah ia berusaha memendam suara isaknya.
“Dan
sekarang, wabah itu menjangkiti kami kembali. Sekarang aku mengerti kata-kata
Raja. Eria habis. Sebenarnya tidak ada penawar penyakit ini. Betapa berat 12
tahun penderitaan yang kalian alami.....” Albatros menundukkan wajahnya, sedih.
“Disaat kalian membutuhkan pertolongan kami, kami justru mengusir kalian....”
Suasana
hening diisi isak tangis dua orang itu, Elderwood kini hanyalah padang rumput
kering yang sedang menunggu hujan.
“Athena,
maafkan kami....” dipeluknya Athena dengan dekapan yang hangat. Albatros, kali
ini untuk pertama kalinya engkau menunjukkan padaku sesuatu yang memang
selayaknya engkau lakukan.
“Aku,......
Aku, dan semua orang buangan itu, tidak memerlukan maaf darimu. Perlu engkau
tahu, aku berasal dari Era, bukan dari Eria negerimu. Aku adalah orang terakhir
dari mereka yang masih hidup. Semua penduduk yang dikarantina, mati satu demi
satu. Seorang sebelum aku terakhir mati 2 bulan yang lalu. Penyakit ini,
memiliki masa jangkit yang berbeda untuk setiap orang...”
“Ini belum
terlambat, Athena....Engkau masih bisa....”
“Hehe....”
tawanya kecil, dipaksa. “Engkau sadar kan ! Saat paling berbahaya bagi orang
yang terjangkit cacar hitam adalah, disaat orang itu benar-benar terlihat
sembuh dari penyakitnya. Saat semua bintik-bintik hitam bernanah itu
menghilang, seakan-akan ia tidak menderita suatu apapun. Seakan wajah mereka
terang seperti sinar rembulan...”
“Cukup
Athena !! Aku akan mencoba pergi ke Romuva !! Aku sungguh-sungguh !! Akan
kutemukan penawarnya !! Engkau akan....akan...sem...”
“Aku akan
segera mati,, itu maksudmu kan ?”
Albatros
terdiam.
“Engkau
tidak perlu berbohong padaku....” sekejap Athena mengangkat wajahnya,
melemparkan senyum terindahnya kepada orang terakhir yang akan dilihatnya dalam
hidup ini. Dua pasang bola mata itu, ya, saling bertatapan kembali. Dalam,
berpilin dipertemukan takdir. Namun hanya suasana haru yang menemani. Rembulan,
ternyata masih tega memancarkan sinarnya yang sayu, tanda berkabung itu.
Sudah
saatnya aku pergi, cerita ini terlalu menyedihkan untukku....
***
“Albatros,
aku....”
“Aku ingin
mengatakan sesuatu....”
“Engkau
tidak perlu merasa bersalah. Engkau melakukannya karena mereka terus menerus
menyakitimu. Sementara mereka hanya menyakitiku sekali, makanya aku tidak
membenci mereka, hehe...”
“Ingatlah,....
Albatros, disaat engkau merasa kesepian.... Pandangilah langit Eria.... Engkau
akan melihat sebuah bintang sabitah dibawah rasi Salib Selatan. Dekatilah ia,
tersenyumlah, dan katakanlah perasaanmu padanya. Dan ketika bintang itu
berkedip padamu, sungguh, saat itu, aku sangat merindukanmu.....”
Kata-kata
terakhir Athena terus terngiang di kedua telinga Albatros. Malam ini ia kembali
memandang langit, menunggu ajalnya. Munafik. Ia menyematkan panggilan itu untuk
dirinya sendiri. Cukup pantas. Ketidakikhlasannya, menjadikan usaha itu sungguh
sia-sia. Ia memang sampai di Romuva, menemukan akar rumpur kelelawar yang
sangat langka itu. Namun, apa? Sejak awal memang wabah cacar hitam ini tidak
memiliki obat. Akar rumput kelelawar hanyalah mitos, dan Albatros mengawali
perjuangannya akan hal tersebut dengan kemunafikan. Jurang kesedihan yang
didiaminya malam ini, tak cukup membalas dosa, dosa kepada semua orang yang ia
benci. Dosa kepada raja, dosa kepada almarhum ayahnya, dan dosa bualannya
kepada Athena tentang menyelamatkan Eria...
“Terima
kasih, Athena ! Engkau menyadarkanku akan arti perjuangan ! Engkau tidak pernah
kecewa pada Era dan Eria disaat mereka membuangmu. Sebaliknya, aku malah, aku
malah......akh,, kumohon, maafkan aku.... Aku pun, aku pun merindukanmu,
sangat....” lirih, basah pipinya, sembari dilihat bintang itu. Dan memang,
ternyata benar.... bintang putih itu, berkedip untuknya.
Komentar