ORIENTALISME, ORISINALITAS, SEJARAH SENTIMENTIL ...



Muhammad Asfiroyan
Depok-Tangerang Selatan, 9-14 November 2012


BAB I : PROLOG
“Sebuah kronik baru telah menghampiri.... Sang dogma absolut akan bergeser menjadi proposisi yang profan nan rapuh.... Ribuan tesis dan anti tesis nya akan datang silih berganti...... Liturgi-liturgi suci kini sudah tak lagi berharga. Ia hanyalah seonggok kitab niskala di padang tandus  yang tinggi, jauh di peradaban kuno orang-orang semit.... Akh, tidak !! sungguh tidak !!,, ia sama sekali tidak akan sendiri.... Akan selalu ada fundamentalis baru yang terlahir, melindungi orisinalitas yang mereka yakini kesakralannya.... Namun, Apakah kita benar ?? Apakah kita bisa benar ?? Ataukah, kebenaran itu yang meng-Kita ??”
“Kegelisahan itu kembali menghantui malam-malam ku lagi.... Mimpi buruk yang berusaha aku lupakan.... Begitu gelap, tak ada cahaya disana.....Rasanya, kredo-kredo yang kuyakini untuk benar itu semakin menjauh... Apakah Tuhan membenciku ?? Kenapa ia telah meninggalkanku dalam jurang gelap tak berdasar ini ??  Ya, Tuhan telah pergi.... Ia telah pergi selamanya.....Tak perlu kurisaukan lagi, Ia dan ancaman-Nya.....”

***

 

                Biarawati itu pun terbangun dari tidurnya. Didapati dirinya menggigil ketakutan, sendiri, ditengah ruangan pengap sebuah gereja tua tak terurus. Ia menangis, sesenggukan, menggenggam tangannya, dan memanggil Tuhan... Mengiba bercucur peluh, berharap apa yang ia yakini, dan apa yang didapatinya bersesuaian satu sama lain...Namun, ia tak mendengar apapun, tidak ada suara disana....Apakah ia telah salah selama ini ???....
                Sejak saat itu, ia telah memutuskan, di tengah kelam malam yang menipu......

***

BAB 2 : TENTANG TUHAN...

Tidak berkaitan langsung dengan yang kita bahas, namun ada baiknya disinggung, karena masalah ini pun masuk pada ranah rangka lunas dari permasalahan kita. Pertanyaan yang paling-sangat-sangat mendasar dari kajian ini, dan sudah mulai dipertanyakan sejak 4000 tahun lalu oleh orang-orang makmur kurang kerjaan di Athena, “Siapakah Tuhan ?? Apakah Ia ada ?? Seperti apa Ia ??“....
Tuhan , dengan definisi awam, adalah Sesuatu yang menciptakan dunia. Ia adalah Penggerak Yang Tidak Digerakkan, sebuah sistem yang menciptakan sistem, dimana Ia secara misterius bertranseden atau imanen dari/di-nya.
Namun, benarkah “Tuhan” sedemikian mudah diargumentasikan?? Sangat naif jika proses elaborasi akan sesuatu menghasilkan kesimpulan mentah yang terlalu tergesa-gesa. Dan tentu, menjadi urgensi yg tak terbantahkan, untuk menilik kronologi sejarah Tuhan, sebelum mengkonstruksikannya menjadi pendapat. Serta tambahan, perlu digarisbawahi, sejarah tak selamanya sinkron dengan realita...
Agaknya permulaan dan proses penyebutan Tuhan adalah sebuah perjalanan panjang, lebih panjang dari sejarah peradaban manusia itu sendiri. Ia tidak linear dan tidak statis. Konsep Tuhan dipastikan berubah dari masa ke masa, dimensi kubik ke dimensi kubik. Permisalan, Tuhannya peradaban Mesir dengan Horus dan Seth, Kristen dengan Trinitasnya yang rumit, Atheisme dengan kenihilan materi KeTuhanan, semua memiliki ciri spesifik dan ke-khas-annya masing-masing. Paradigma Tuhan yang lama, tak ayal sudah usang dan perlu disesuaikan, agar cocok dengan kondisi jaman, baik dulu, saat ini, maupun yang mungkin akan datang. Simultan.
      Karen Armstrong dalam bukunya yang terkenal kemana-mana, ‘A History of God’, secara tegas mendefinisikan Tuhan sebagai sumber realitas yang tersembunyi dan tak dapat dijangkau. Sedangkan Tuhan definisi lama, ia katakan sebagai ‘Tuhan Langit’ atau ‘Tuhan Tertinggi’. Sungguh teoritis, bagaimanapun. Sementara orang lokal macam M. Imaduddin Abdulrahim, menggagas definisi Tuhan dengan lebih ekstrem, dan definisi inilah yang sering kita pakai. Ia mengatakan bahwa Tuhan itu, adalah sesuatu, cukup sesuatu, konkret atau abstrak, eksis maupun khayal, apapun itu, yang dipentingkan oleh manusia sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya. Sehingga berdasar pada esensi praktis ini, kita bisa mengatakan bahwa tidak ada ‘atheisme’ di dunia, karena orang-orang ateis, dikuasai oleh pendapatnya sendiri....
        Tuhan, kita sadari atau tidak, tidak hanya berkaitan dengan realitas obyektif semata. Ia adalah realitas subyektif setiap orang. Bahwa Tuhan sebagai Wujud Yang Esa, tidak ada yang membantahnya. Tetapi, dalam pandangan subyektif manusia sebagai ‘homo religiosus’, Ia memiliki banyak konsep dan presensi. Jelas, kita menemui kebuntuan disini untuk men-standarisai Tuhan. Tapi pada hakikatnya, Tuhan itu sendiri begitu sederhana. Ia adalah ‘ketundukan’. Sayang, kita terlalu banyak menggunakan probabilitas dan permutasi rumit, tidak universal, dan menyesatkan pemahaman .
Sampai saat tulisan ini dibuat, sudah ribuan tahun kehidupan berjalan, dan kita masih belum mencapai kesepakatan tentang Tuhan,, bahkan hanya untuk definisinya saja...Sebungkus ironi yang menggelitik !!

BAB 3 : ORIENTALISME, SEBUAH KESAKSIAN.....

Seperti isme yang lain, isme dalam orientalisme mengandung arti aliran, cara pandang serta pola pikir tentang pemahaman akan kata sebelumnya. Menurut KBBI, oriental adalah segala hal yang berkaitan dengan dunia Timur. Jadi, bisa dibuat sederhana bahwa orientalisme, tak lebih dari cara pandang terhadap Dunia Timur.
Tunggu, berkaitan dengan dunia timur ?? Tapi kenapa orientalisme itu bersumber dari barat ?? Berbagai pertanyaan kritis perlu dilontarkan mengenainya. Mengapa orang timur tidak menyelidiki kehidupannya sendiri ?? Ataukah mengapa dunia timur menjadi begitu menarik untuk dikaji bagi mereka orang-orang barat ??....
Sejak jaman orang-orang sophis, barat selalu memiliki budaya berpikir yang logis dan materialistis. Mereka tidak terlalu suka pada hal-hal berbau metafisis dan menyangkut substansi numina. Dari sini, kita bisa dapatkan satu jawaban yang mungkin bahwa kajian oriental adalah semata-mata karena perangai orang-orang kaukasian yang analitis untuk mendapatkan ‘kebenaran’....
Namun, sadarkah kita, bahwa pola pikir logis yang hebat itu secara menyedihkan ternodai oleh sendi-sendi kehidupan yang kejam. Sejarah sentimentil, sejarah mereka yang kelam dan berbau busuk. Mereka meludah pada masa lalunya sendiri. Pagan, gereja, inkuisisi, penyihir, pendeta korup, dan perang salib. Kekecewaan yang mendalam, represi dan fiksasi yang timbul, berubah menjadi penalaran skeptis akan mistisisme Timur. Kajian oriental kontemporer, tak pelak merupakan salah satu produk sejarah sentimentil ini.
Sebab lain, yang lebih nyata, terletak pada tujuan positif mereka. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa peradaban barat, dengan Yunani dan Romawi, merupakan salah satu peradaban terhebat yang pernah ada. Sayang, kehebatan itu tertandingi dengan peradaban orang-orang yang tidak sekelas dengan mereka. Mesir, Persia, Cina, dan Islam menjadi bukti nyata. Rasa iri dan motif kompetisi timbul dari mata yang bersinar biru itu. Konsekuensi logisnya, pendalaman ilmu perihal peradaban Timur tak terhindarkan. Sampai disini, saya pribadi sangat salut dengan mereka, sungguh watak pribadi yang mengagumkan !!!

***

Sebenarnya, dalam proses penyelidikan apapun, kita tak selayaknya menyimpan praduga negatif sebelum sampai pada kesimpulan. Namun apa boleh daya, otak ini memiliki keterbatasan. Bukti-bukti yang berhasil ia kumpulkan, mengarah kepada pandangan negatif atas objek sasaran. Saya akan berusaha senetral mungkin, tapi subyektifitas penulis, sangat sulit untuk dihapuskan seluruhnya.

***

Dari sejarah panjang orientalisme, bisa diringkas beberapa maksud tersembunyi. Berasumsi dari maksud-maksud tersebut, mungkin kita bisa mengambil gambaran kasar tentang seberapa obyektifkah orientalisme, orientalis, dan konklusi kajian oriental itu. Berbagai buku dan literatur itu memang terlalu banyak, memang. Butuh sekedar lebih dari kata-kata untuk menjelaskannya. Namun, itu lebih baik, ketimbang mendogmakan apa saja yang orientalis katakan, bukan ??


BAB 4 : UDANG DIBALIK PANDANG, MOTIVASI DIBALIK AKSI, MAKSUD DIBALIK KESIMPULAN...

      Apakah ada ?? Maksud saya, apakah orientalisme itu punya maksud buruk ?? Jawabannya, relatif. Dari sisi dunia yang mana, esensi ‘buruk’ itu ternilai...Keyakinan saya pada pemahaman masyarakat secara luas, mendorong saya untuk tidak menjelaskan orientalisme dengan lebih detil. Terbatasnya waktu-tenaga, juga jadi kendala. Tentu kalian sebagai pembaca, wajib mempunyai praduga bersalah dengan tulisan ini. Secara, di kemudian hari kalian akan menemukan, apakah yang diungkapkan disini, nyata atau tidak.
        Orientalisme, memiliki maksud yang terbilang ‘tidak bersih’, walaupun tak semua orientalis seperti itu. Kalian boleh tidak sependapat dengan ini. Tapi, tentu pendapat kalian harus diimbangi dengan fakta yang ada. Sepanjang sejarahnya, orientalisme mendiami beberapa wilayah di Eropa Barat, seperti Inggris, Perancis, dll. Wilayah-wilayah ini terbukti memiliki kepentingan besar di dunia Timur. Kepentingan yang sering kita dengar dengan istilah 3G (Glory, Gospel, Gold). Selain yang tersebut, ada banyak motivasi yang lain, seperti motivasi keilmuan dan politik.
        Dari aspek spiritualisme, orientalisme dapat dianalogikan seperti meriam Al-Fatih yang menghancurkan dinding kuat Konstantinopel. Perusak berkedok ilmiah, pengangkang bertopeng senyuman. Akan kita temui, sedikit sekali hasil penelitian orientalis yang memang sesuai dengan kaidah keilmuan yang berlaku umum. Bertujuan untuk membelokkan nilai, terlihat mereka sukses dengan kata-kata nya yang yang terdengar pintar. Namun, apakah metode yang digunakan, serta kesimpulan yang ditarik, secerdas kalimat yang menjelaskannya ?? Mari kita tengok contoh kecil dari Gautier H.A. Juynboll berikut :

          “Sezgin’s epochal work presents a new approach. Where Goldziher’s and Schacht’s findings amounted virtually to denying the ascription of the bulk of hadis literature to its alleged originators (the prophet, his Companions, or even later authorities) as authentic, Sezgin appears to be a great deal less sceptical. His main thesis that the writing down of hadis as well as other material started almost immediately after the death of the prophet and continued virtually uninterrupted during the first three centuries of Islamic history, and this on an increasing and ever more sophisticated scale, has raised little doubt as far as I know. And Azmi, in his study referred to above, arrived quite independently at more or less the same conclusion. But unearthing and cataloguing material, as Segzin has done, is something altogether different from establishing its authenticity.
By that I mean establishing whether the material ascribed to certain early authorities is in actual fact, theirs or whether it originated with later authorities who, for variety of reasons, wanted it to appear older and, therefore, projected it back artificially onto older and thus more awe-inspiring authorities. Apart from a few isolated cases in which Segzin questions the authenticity of certain texts, he presents the bulk of them as if he has no qualms as to their genuineness. Something which always struck me in work of Sezgin, Azmi, and also in that of Abbott – to which I shall turn in a moment – is that they do not seem do realize that, even if a manuscript or a papyrus is unearthed with an allegedly ancient text, this text could very easily have been forged by an authority who lived at a time later than supposedly older authority given in its isnad.”
(Muslim Tradition: Studies in Chronology, Provenance and Authorship of Early Hadis, pg 4. G.H.A. Juynboll)

Kalian menyadari sesuatu ?? Jika kalian berpikir seperti penulis, tentu kalian akan tertawa membaca kesimpulan dari Juynboll tersebut. Fu’ad Sezgin, Nadia Abbott dan Mustafa Azami adalah 3 orang sarjana yang telah mengkaji dan menyelidik sejarah penulisan hadis dari sumber-sumber manuskrip dan papirus. Mereka berhasil membuktikan bahwa penulisan hadis-hadis telah bermula sejak dari saat awal kematian Rasul dan terus kontinu hingga saat ini. Akan tetapi Juynboll meragukan hasil penemuan mereka atas alasan bahwa konon manuskrip-manuskrip dan papirus-papirus tersebut kemungkinan besar telah ditulis oleh orang-orang jauh setelah Rasul wafat. Tentu itu bukan kesimpulan ilmiah sama sekali !! Bagaimana ia membantah pembuktian ilmiah dengan dugaan berkepala kalimat ‘konon’ ?? Dan yang lebih mengerikan lagi, bagaimana ada orang-orang yang mempercayai ini sebagai karya tulis ilmiah ?? Apakah isi kepala mereka sebesar biji kacang ?? Entahlah, tapi ini hanya satu contoh kecil dari banyaknya kesalahan-kesalahan yang lain.
Selain penghancuran paham lokal, penyebaran agama barat, Kristen, juga dilakukan oleh para orientalis, terutama dari kalangan gereja. Kristen yang aslinya berada di benua Asia Kecil, sekarang kembali dengan berbagai penambahan mitos paganisme yang kental melalui pena-pena episkopal. Meski dengan usaha yang tidak mudah, sekarang penganut kristen di Asia, tidak bisa dibilang sedikit, bahkan di negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.
Selanjutnya, sisi kejayaan peradaban. Sejak kekecewaan Perang Salib ditambah keserakahan mereka akan kekuasaan dan rempah-rempah, dorongan untuk menguasai dunia Timur kian besar. Secara singkat, orientalisme digunakan untuk memperlemah orang-orang timur akan budaya dan semangat peradabannya, sehingga mereka dan nilai-nilainya mampu berinfiltrasi, sedikit demi sedikit, mencapai apa yang mereka inginkan, era filsafat Yunani dan materialisme.

***

        Kalimat diatas secara resmi belum selesai. Terlalu melelahkan untuk dijabarkan secara holistis.... Huft !


BAB 5 : KELEMAHAN PERSEPSI DAN PRADUGA

Diluar berbagai motivasi dibalik penelitiannya, orientalisme, jika dipandang sebagai suatu kajian keilmuan murni, memiliki beberapa kelemahan dalam penelitiannya.
Kelemahan yang pertama, subyektifitas. Takkan pernah lepas dari metode ilmiah manapun, koefisien subyektifitas takkan pernah bernilai nol. Ditambah dengan maksud dan tujuan, orientalisme lebih mengarah subyektif ketimbang obyektif terhadap kajiannya.
Kedua, penggunaan metode ilmiah yang keliru. Bisa digeneralisasi, bahwa banyak sekali kesimpulan-kesimpulan orientalis, ditarik dari penelaahan objek kaji yang tidak menyeluruh, salah pengertian dengan maksud konten sumber, dan pengambilan kesimpulan umum dari sejumlah kecil literatur. Salah satu metode ilmiah orientalis yang terkenal adalah hermeneutika. Aslinya, metode ini memang sangat cocok sebagai penafsiran biblikal yang notabene bersumber dari teks kuno. Entah mengapa mereka pun menggunakannya terhadap Al-Quran, dengan dalih kesejajaran keduanya terhadap agama masing-masing. Perlu dicatat bahwa Al-Quran bukanlah teks pada akar silsilahnya, melainkan penyampaian secara oral (recitation) berdasarkan memori. Sehingga sangat tidak reliable jika hermeneutika digunakan pada Quran layaknya Bible.
Ketiga, praduga negatif yang ada, bahkan sebelum proses penelitian dilakukan. Hal ini banyak dilakukan oleh orientalis-orientalis yang memang memiliki maksud terselubung. Namun, apalah kita, membaca maksud yang tak terlihat ?? Bagaimanapun, penilaian maksud kembali kepada entitas pikiran individu-individu terkait, namun maksud mempunyai dampak implisit pada hasil, seperti pasang-surutnya air laut, walaupun grativasi bulan tak terindra.
Keempat, kesalahan pengambilan sumber. Mungkin inilah yang paling konyol. Kehati-hatian adalah syarat umum yang mutlak dimiliki oleh seorang ilmuwan. Ia tidak bisa sembarangan bersumber, berpendapat, dan berkonklusi. Namun, masih ada cukup banyak buah pena orientalis, yang bahkan dalam mengkaitkan dalil-dalilnya, tidak relevan dengan pembahasan yang hendak dicari jawabannya. Mereka mengkiaskan sesuatu, terlalu jauh dari substansi permasalahan. Tentu kalian akan tahu seperti apa hasilnya, jika keadaannya demikian.
Kelima, kurangnya pemahaman tentang bahasa dan sastra ketimuran. Hal ini kembali kepada kesalahpahaman akan teks dan hakikat di dalamnya, sehingga berdampak negatif pada proses pengkajian setelahnya.
Keenam, pengambilan sikap yang berlebihan. Orientalis dan orientalisme, memang terlihat ilmiah dan meyakinkan. Tapi terlihat jelas dalam alur pendapat mereka, bahwa ada kesan ‘memaksakan’ pendapat, dan asumsi gila bahwa semua pendapat selain pendapat dirinya adalah salah. Lagi-lagi saya menekankan, bahwa kesimpulan ini sebatas pandangan subyektif saya, dan patut untuk dikritisi oleh pembaca.
Ketujuh, perlu diketahui bahwa akan selalu ada aspek-aspek postulat dalam setiap hipotesa dan post-hipotesa. Tentu terlalu banyak hal-hal yang tidak bisa dijawab, dan memang seharusnya seperti itu. Pengembangan pola pikir kritis ala filsuf, tidak menyelesaikan masalah yang kita hadapi disini. Seorang anak kecil tak akan bisa menjawab soal, jika soalnya sendiri saja tidak bisa dilihat oleh mata harfiahnya. Bahkan seorang seperti Nietschze pun, langsung mempostulatkan pendapatnya, ketika ditanya mengenai frasa “Becoming” dalam teorinya yang terkenal, “being is always becoming”. Sangat dimungkinkan, tidak, dapat dipastikan bahwa hal ini berlaku juga pada pembahasan kita.
Para orientalis, entah mengapa, seakan selalu identik dari masa ke masa. Mereka selalu menyentuh domain yang basah dan berlumpur. Metode dan pola yang digunakan, sangat bisa dipersangsikan oleh nalar yang tidak sakit. Seperti pentakwilan Al-Quran dengan Alkitab, pengambilan rujukan yang keliru pun ditambah interpolasi, serta keputusan final yang ditarik bahkan sebelum metode ditentukan. Mungkin akan ada sebagian dari kita yang tertawa mendengarnya, tapi mereka lakukan, dan itu bagian dari kriteria logis mereka. Tak pelak, hasil penelitian mereka tak ubahnya seperti dogma penipuan, jauh dari tonggak pemikiran vertikal dengan pondasi yang kuat. Tonggak-tonggak itu lemah, karena dipaksakan untuk berdiri diatas tanah lumpur tadi. Tak ada pembuktian realistik, yang ada hanya praduga skeptik dan penuh hasrat akan tercapainya kepentingan.
Dan yang terakhir, bahwa syarat-syarat reformasi pemahaman, yang dilakukan oleh para orientalis, tidaklah semata pada terpenuhinya nilai-nilai intelektualitas. Ada faktor lain kenapa para ‘ulama (orang2 berilmu agama), diakui pendapatnya, dan kenapa para orientalis tidak.
Syarat-syarat berikut saling terkonduksi, dan merupakan rangkaian linear kualifikasi reformer. Ia menyangkut 3 aspek : intelektualitas, aplikasi, dan sinergisme. Intelektualitas, meliputi pemahaman akan substansi objek formasi, dan substansi pengeliling objek formasi. Aplikasi, berupa pengejawantahan kandungan nilai objek dan reformasi itu sendiri. Sementara sinergitas, bahwa prinsip-prinsip postulat wajib dikombinasikan oleh reformer dalam proses rekonstruksinya. Orientalis, membantah 2 dari 3 syarat ini. Kenapa ?? terlalu banyak jawaban. Namun, jika saya bertanya kepada pembaca, apakah intelektualitas saja cukup ?? Tentu jawabannya iya untuk tidak.


BAB 6 : KONKLUSI

Miris. Entah apa lagi kata yang mampu terucap dari bibir ini. Segenggam fitnah itu, sekarang dielu-elukan, layaknya cahaya terang penunjuk jalan. Masih terlalu banyak orang-orang bodoh yang kutemui, yang menganggap diri mereka pintar dengan aktifitas peng-ekor-annya ke arah barat. Mereka tidak kritis akan buku-buku yang mereka baca. Mereka menyukainya, seperti anak kecil suka akan komik2 bergambar. Sumber yang lebih relevan telah ditinggalkan dan dianggap tertinggal. Kesalahan material sudah menjadi kebenaran material. Seakan sudah tiba, masa ke-empat dari lima masa, memendungkan langit, menaungi. Haruskah semua jadi satu, sumber paradigma ?? Akh, protes apalagi yang kini kuteriakkan ?? Aku hanyalah orang bodoh dan kolot bagi mereka. Bagaimana aku menunjukkannya, sementara mereka menutup mata mereka ?? Bagaimana aku memberitahunya, sementara mereka menutup telinga mereka ?? Apakah ini sia-sia ??
Sebuah perjalanan yang cerdas, tak mengenal kebodohan dan konservatisme di jalannya. Ia hanya mengenal tanya....” Apakah kita benar ?? Apakah kita bisa benar ?? Ataukah, kebenaran itu yang meng-Kita ??”

BAB X : EPILOG
                Si nenek tua, memiliki nama yang kini telah dijunjung tinggi oleh antero jagat. Ia dengan berbagai teori2nya tentang teologi, ontologi, dan epistemologi iman, menjadi artis kolong langit yang telah mengangkangi ‘oikumene’. “Inilah kebenaran itu,” yakinnya. “Semua sudah sesuai, klop !”.
Merasa puas, ia pun kembali ke gereja tua tempat dulu ia pernah mengabdi. Sekadar berkunjung, mengenang kembali masa2nya beberapa tahun lalu. Dilihatnya kamar tempat biasa ia tidur. Kali ini, tak ada salib berkilauan emas yang menggantung di dinding. Tak ada lagi Alkitab Yeremia dan Surat2 Paulus yang biasa menghiasi meja kayu lapuk peninggalan Perang Dunia II itu. Tak perlu, sungguh tak perlu lagi ada benda2 itu disana. Semua sudah beres, terang, begitu memuaskan....
                Dilihatnya Arloji Swatch perak yang menggandeng tangannya, lengan2 kurus itu menunjukkan pukul 12 malam. Tentu sudah terlalu larut untuk pulang... “Jadi, Biarlah aku tidur disini semalam saja, mengapresiasi keberhasilanku sekaligus kan menghapus masa laluku...” pikirnya. Seketika tubuh keriputnya terbaring di ranjang penuh kenangan itu, berusaha memejamkan mata...
***
“Namun, Kegelisahan itu kembali menghantui malam-malam ku lagi.... Mimpi buruk yang berusaha aku lupakan.... Begitu gelap, tak ada cahaya disana.....Rasanya, kredo-kredo yang kuyakini untuk benar itu semakin menjauh... Apakah Tuhan membenciku ?? Kenapa ia telah meninggalkanku dalam jurang gelap tak berdasar ini ??  Ya, Tuhan telah pergi.... Ia telah pergi selamanya.....”

“Tapi, kenapa ??......
Kegelisahan apa ini ??....
Bukankah ini sudah ..????

Ah...
Tidak mungkin !!....
Seketika itu, aku tersadar.....
dan baru kudapati....
semua konklusi dan hipotesa......
 yang kubanggakan dengan dada busung.....
mungkinkah semua itu....
hanya sebatas....
imaji intelektualitasku saja ??....”


“Aku tak bisa membuktikannya,dengan pasti,, selama ini tak pernah kulihat kenyataannya. Tak ada realitas obyektif yang meyakinkan, bahkan logika sederhana sekalipun....”


Wanita tua itu kembali menangis, sesenggukan, menggenggam tangannya, dan memanggil Tuhan...



Patetik....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kurapika?

Mengapa Harus Memimpin ??

Teruntuk Bunga Mawarku..