Mengapa Harus Memimpin ??





“ .....Ada yang bilang, mau gimana lagi, kita (mahasiswa STAN) memang tumbuh dalam sistem (baca : kehidupan) seperti itu. Kita dibentuk untuk menjadi buruh, alih-alih pemimpin. Saat mahasiswa seumuran kita di tempat lain asyik bikin program, kita malah hanya diinstruksikan untuk mengoperasikan program. Yang lain mendesain peraturan, kita menghafal yang sudah ada. Yang lain belajar berinovasi, kita belajar mencintai status quo.....”
(Seorang alumnus STAN dalam sebuah artikel di blog-nya)


***
            Suatu hari, ketika saya masih berada di tingkat I, saya pernah merenung sejenak di dalam kamar kos saya, sembari membayangkan teman-teman saya di kampus ini yang dengan begitu ‘hebat’nya hidup sebagai spesies ‘mahasiswa kura-kura’ (KUliah RApat – KUliah RApat), mereka mampu menjabat sebagai korlak acara, ketua bidang, dan bahkan ketua umum beberapa organisasi kampus. Saya sungguh heran , tidak mengerti, sekaligus merasa iri (dalam konteks positif), “Mengapa mereka mau berepot-repot ria ?? Berkecimpung di dunia yang sama sekali tidak mendatangkan cash profit bagi mereka, malah mereka harus dibebani tanggung jawab yang terbilang berat di organisasi-organisasi itu ?? Apa sih keuntungannya ??....
Karena rasa penasaran tersebut, saya pun mencoba masuk ke beberapa elemen kampus dan mengikuti kepanitian beberapa acara, hanya beberapa, karena memang saya merasa tidak ada keuntungan dari itu semua. Di elkam seperti UMMP (Ukhuwah Mahasiswa Muslim Pajak), saya bekerja hanya sebagai staff, dan dibeberapa acara, jabatan saya paling tinggi hanya sebagai kabid acara. Namun dari tempat ‘sekecil’ itu, saya bisa melihat dan merasakan, bahwa memang, ada suatu gairah disana, gairah yang membuat teman-teman saya mau menanggung ‘burden’ sebesar itu, suatu gairah yang membuat saya menulis tulisan ini, gairah yang sekaligus juga akan menjawab judulnya, “Mengapa Harus ‘Memimpin’ ??”


***
Memimpin memiliki kaitan erat dengan kepemimpinan. Sementara orang yang memimpin itu disebut pemimpin. Maka, dari premis-premis ini bisa diambil silogisme bahwa setiap pemimpin selayaknya memiliki jiwa kepemimpinan. Namun, sejauh mana ‘kepemimpinan’ itu diperlukan dalam elemen-elemen kampus ini ?? Dan siapa yang layak jadi pemimpinnya ??
Kepemimpinan memiliki banyak definisi. Dan dari semua definisi itu, hanya satu hal pokok yang bisa dipakai untuk mentafsirkan kepemimpinan....... Yup, kepemimpinan tak lebih dari kata ‘pengaruh’ !! Hanya itu, tidak kurang dan tidak lebih !! Kemampuan mempengaruhi-lah yang membuat seorang pemimpin itu adalah pemimpin sejati !! Tengok saja baginda Rasulullah SAW, Napoleon, Alexander Yang Agung, Shih Huang Ti, Hitler, dll, mereka semua memiliki pengaruh yang besar pada komunitasnya. Tak peduli apakah pengaruh itu baik atau buruk, bersifat etis atau non etis, ataupun harus sukarela maupun terpaksa. Karena kepemimpinan itu, tak mengenal norma dan nilai, ia, hanya berorientasi kepada cara dan tujuan yang perlu digapai.......begitulah, suka atau tidak suka !
Seorang pemimpin akan berusaha membawa masyarakatnya, menuju suatu goal, baik yang disetujui dan diinginkan secara aklamasi, atau yang bahkan dipaksa karena nafsu dan hasrat sang diktator. Dalam prosesnya (pencapaian tujuan), diperlukan pemberdayaan fasilitas si ‘komunitas terpimpin’ guna meraih tujuan, yang kembali peran pemimpin sangat diperlukan eksistensinya. Pemberdayaan ini, menjadi identitas kedua dari kata ‘kepemimpinan’......... Ialah efektifitas, sebuah kata sederhana yang dimaksud. Barangkali efektifitas tak masuk lingkupan kepemimpinan, karena raja yang tidak becus mengurus rakyatnya pun akan tetap dipanggil ‘raja’. Namun seorang pemimpin sejati tahu, jika ia tidak efektif, maka statusnya tak lebih dari simbol, atau bahkan takkan bertahan lama....
Efektifitas sang pemimpin adalah sejauh mana ia mampu dengan segenap wewenangnya, memberdayakan dirinya dan apa-apa yang dimiliki komunitasnya, untuk mendorong entitas tersebut, mencapai tujuannya. Kalau kita menengok baginda Rasulullah SAW, beliau memiliki efektifitas yang sungguh luar biasa sebagai seorang pemimpin. Beliau mampu mengubah kebodohan orang-orang ‘Arab yang dipimpinnya, menjadi manifestasi harapan akan kejayaan di masa depan. Kejayaan Islam yang mampu bertahan ribuan tahun sebelum Perang Dunia I. Efektifitas beliau terpancar dari keempat sifatnya –yang dalam sebuah buku disebutkan- , sebagai karakteristik yang mampu membawa perubahan besar bagi bangsa padang pasir Timur Tengah. Keempat karakteristik itu adalah :

  • Cerdas dan taktis (Fathonah): beliau mampu memberikan solusi atau memilih solusi terbaik atas masalah yang ada, bahkan membuat preventif atas risiko yang mungkin muncul.
  • Dapat dipercaya dan bertanggung jawab (Amanah): Dapat menjadi tumpuan utama bagi para sahabatnya, berarti beliau paham betul visi, misi dan aksi dalam masyarakat muslim saat itu.
  • Terbuka dan komunikatif (Tabligh): Rasulullah bukanlah single fighter, beliau mampu merangkul kelompoknya, dipahami kelompoknya serta menggerakkan mereka. Dapat dikatakan bahwa beliau bahkan lebih paham setiap sahabatnya ketimbang sahabat itu sendiri memahami dirinya.
  • Jujur dan berintegritas (Shiddiq): perkataannya adalah perbuatannya sehingga kehormatannya terjaga, kawan dan lawan pun menghormatinya dan mencintainya.

Efektifitas dari seorang Soekarno berbeda lagi. Sang Presiden memiliki kharisma dan kecakapan linguistik yang hebat, yang mampu menggetarkan hati jutaan rakyat Indonesia pada masanya. Setiap pidatonya selalu dihadiri ribuan orang. Karenanya, titah sang Proklamator amat sangat berpengaruh, menggerakkan nusantara pada persatuan hingga saat ini...
Lain lagi dengan Attila dari Hun. Ia adalah sosok antagonis. Kepemimpinannya seakan tidak lengkap jika tidak dibumbui kucuran darah manusia. Tampuk raja Hun pun ia dapat setelah membunuh saudaranya sendiri, Bleda. Semua kebengisannya seakan tercermin dari hobinya. Ya, hobinya adalah menonton..... Menonton seorang tawanan, yang kaki dan tangannya diikat, dan tali ikatannya disambungkan ke dua ekor kuda yang akan dipacu untuk berlari berlawanan arah. Ia akan tertawa kegirangan melihat tubuh sang korban perlahan-lahan sobek menjadi 2 bagian, dan pada akhirnya terbelah....... Miris. Tapi begitulah efektifitas kepemimpinannya, dengan menebarkan teror agar orang-orang di daerah yang ditaklukkannya tunduk mengikuti keinginannya, suka atau tidak....
***
Kembali ke pertanyaan awal, Mengapa harus memimpin ?? .........Kalau kita jeli, sebenarnya pertanyaan ini sudah terjawab dari definisi kepemimpinan itu sendiri. Yup, pengaruh !! Agar kita bisa memberikan pengaruh !! Agar kita mampu menanamkan tujuan-tujuan kita pada ekosistem mahasiswa yang kita pimpin. Maka dari itu, seorang pemimpin yang baik, seharusnya memiliki tujuan yang baik pula untuk masyarakat yang dipimpinnya. Bukan cuma sekedar “melegalkan” keingininan pribadi atau golongannya. Bukan ingin menyusupi ekosistem ini, dengan nilai-nilai hedonisme buruk ala anak-anak muda tak punya pendirian. Dan bukan pula menghancurkan akhlak serta moral para calon birokrat Kementerian Keuangan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara..... Pemimpin yang baik, masih dicari di negeri Ali Wardhana ini, dan disinilah saya, menjadi bagian dari carut-marut itu. Sudah saatnya bagi saya untuk bangkit dan berdiri, bukan hanya melihat dari kejauhan lagi, seperti kesalahan yang dulu pernah saya lakukan,...... saya, dan selayaknya kita semua, harus mengambil langkah sistematis, yang akan benar-benar merubah kehidupan kampus STAN, menjadi dirinya yang lebih baik dari sekarang....

I don’t think you have to be wearing stars on your shoulders or a title to be a leader. Anybody who wants to raise his hand can be a leader any time.” —Jenderal Ronal Fogleman, US Air Force—


Sekolah ini, entah mengapa, seperti kering dari jiwa-jiwa sosial. Mungkin karena paradigma yang terbentuk di setiap kepala mahasiswanya, memandang kehidupannya, seperti ini :
KULIAH → DENGERIN DOSEN MENDONGENG → LULUS → JADI BIROKRAT (dengan jalan mulus 100%)

Berbeda dengan kehidupan mahasiswa di kampus lain :
KULIAH → BANGUN JARINGAN → BELAJAR DENGAN TEKUN→ LULUS → CARI KERJA LEWAT JARINGAN TSB (dengan usaha yang tidak mudah 100%)Karena pola pikir seperti itu, kampus kita yang tercinta ini hanya membentuk sosok-sosok apatis dan pragmatis. Adanya figur pemimpin yang luar biasa, yang mampu mengubah cara pandang seperti diatas, menjadi sebuah keharusan. Pemimpin yang memiliki ‘pengaruh’ sosial yang mendalam, dan ‘efektifitas’ kerja yang advanced. Harapan saya, semoga Pemira 2012 ini, mampu mencetak pemimpin seperti itu, pemimpin yang seperti baginda Rasulullah SAW, yang mampu mengubah kebodohan orang-orang ‘Arab yang dipimpinnya, menjadi manifestasi harapan akan kejayaan di masa depan.

“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi suatu kaum maka dijadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang bijaksana dan dijadikan ulama-ulama mereka menangani hukum dan peradilan. Juga Allah jadikan harta-benda di tangan orang-orang yang dermawan. Namun, jika Allah menghendaki keburukan bagi suatu kaum maka Dia menjadikan pemimpin-pemimpin mereka orang-orang yang berakhlak rendah. DijadikanNya orang-orang dungu yang menangani hukum dan peradilan, dan harta berada di tangan orang-orang kikir.” (HR. Ad-Dailami)




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kurapika?

Ka'bah itu Besar! Persis di Tengah-Tengah Masjidil Haram