Desir Kesunyian Primus..
"Roy...", suara itu, aku sungguh mengenalnya... Suara lirih yang kembali terngiang dikedua telinga ini,, membangunkan diriku dari lamunan kepergiannya. Seakan kulihat dirinya lusuh, berbaju biru bertuliskan Group 4 Securicor tempat ia bekerja. Ia kurus kering seperti orang-orang negro kelaparan di Afrika sana. Aneh, padahal kulitnya tak hitam, sungguh berbeda denganku. Ia adalah pria yang tampan, putih bersih berwajah teduh. Primus Yustisio, lelaki itu...
***
200 ribu rupiah ? hanya itu uang yang aku punya ? sungguh tidak sepadan antara peluh keringat selama 3 bulan bekerja dengan nominal yang tertera di mesin ATM. Sedih, bagaimanapun, tapi aku sungguh bersyukur... Kugenggam erat uang itu, berharap Allah akan menyembuhkannya melalui perantaraanku...
Kami kembali dengan keadaan rumah yang telah sepi, hanya terlihat 3 orang wanita menangis sesenggukan disana. "Roy, tolongin bang Ari roy,, tadi dia udah batuk-batuk berat, udah dibopong ke RSUD,, cepet ya roy tolong..", istrinya menangis, tak kuat diriku melihatnya. Aku selalu mencoba berpikir rasional, mencoba menempatkan diriku yang remeh ini dalam silsilah keluarga yang terlampau luas. Namun siapa aku ini ?? Bagaimana aku bisa menolongnya ?? Ya Rabb, aku sering membayangkan diriku berada dalam banyak keadaan, namun tak pernah kusangka, aku akan menghadapi posisi seperti ini...
"Ayooo,, ngapain kita disini ??" Teriakku pada adikku yang sudah menyerah lunglai. "Kita susul kesana, pasti di rumah sakit sana butuh uang kas untuk administrasinya...", semangat diriku. Tak lama, Motor Beat pink itu dipacu dengan tergesa-gesa. Namun, ditengah kelam langit Depok kala itu, diterpaan gerimis yang menyakitkan,, memang akan selalu ada kehendak Illahiah yang terjadi. Sebuah pesan singkat yang mengubah usaha kami menjadi tumpukan asam laktat yang menyakitkan di sela-sela sendi....
***
"Sudah a, pulanglah, bang ari udah gak bisa diselamatin lagi".
Hening.
Langit mendung kota Depok menjadi pendengar bisu teriakan hati kami, berpula hujan gerimis darinya. Jalan raya yang sibuk, perlahan semakin tak terdengar. Kami hanyut dalam kehampaan....
"Innalilallahi wa inna ilaihi raji'uuun...", jiwa kami seakan terlepas dari raganya...
***
Seminggu sudah kejadian itu berlalu. Setiap detik yang terasa menyayat itu, masih kurasakan hingga saat ini. Aku selalu teringat dengan foto kami bersama, waktu itu umurku sekitar 4 tahun. Ia duduk memangku diriku, dan ibuku duduk memangku adikku. Meleleh, air mata ini pun akhirnya mengalir. Foto itu masih tercetak jelas di otakku. Seorang pemuda gagah, yang sudah menjadi daftar idaman puluhan wanita, duduk dengan tersenyum menatap kamera. Sekarang wajah tampan itu telah menjadi makanan cacing, beralaskan bumi yang begitu dingin.. Ya Rabb, sungguh Engkau memang Mahakuasa atas segala sesuatu, termasuk atas dirinya, dan atas diriku...
Allahumaghfirlahu warhamhu wa afihi wa'fuanhu...
***
Arief Fachri
28 Maret 2013
Komentar